Selasa, 30 Oktober 2007

BUPATI, ILLEGAL LOGGING DAN PENCUCIAN UANG

M. Natsir Kongah



Sepuluh bupati yang terindikasi terlibat praktik pembalakan liar (illegal logging) akan diperiksa. Departemen Kehutanan tengah berkoordinasi dengan Mabes Polri untuk melakukan proses hukum, sementara ijin untuk pemeriksaan para bupati tersebut sudah diajukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Media Massa menulis pemberitaan ini, Sabtu, 22 Oktober 2005). Meski sudah sebulan lebih, kelanjutan hasil dari koordinasi yang dilakukan itu sampai tulisan ini dimuat belum ada khabar akan proses selanjutnya.

Apa yang dilakukan oleh para petinggi ditingkat dua ini, dapat diindikasikan telah melakukan kejahatan ganda : kejahatan utama ( core crime ) adalah illegal logging dan kejahatan lanjutan ( follow up crime) manakala ia melakukan pencucian uang . Sejatinya, untuk membuktikan kejahatan utama dari para pelaku illegal logging , aparat penegak hukum akan lebih mudah mendapatkan titik terang bila melakukan pendekatan dengan Undang-undang No.15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003 ( UU TPPU). Pasal 2 ayat (1) UU TPPU menyebutkan hasil tindak pidana pencucian uang adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana, antara lain : (a) korupsi; (b) penyuapan; (v) di bidang kehutanan; (w) di bidang lingkungan hidup.

Sebagaimana diketahui pencucian uang adalah : perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. (Pasal 1 ayat (1) UU TPPU).

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai lembaga sentral (focal point ) didalam upaya mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian dapat membantu aparat penegak hukum dengan cara mentrasir/melacak transaksi yang dilakukan oleh pelaku kejahatan pada sistem keuangan. Biasanya para pelanggar hukum yang mendapatkan uang atau kekayaan yang di peroleh secara tidak sah/legal berupaya menjadikannnya seolah-olah berasal dari sumber yang sah/legal. Pola yang dilakukan didalam proses engineering keuangan ini seringkali rumit dan kompleks, sehingga sulit untuk dideteksi. Namun, secara sederhana kegiatan ini pada dasarnya dapat dikelompokkan pada tiga kegiatan, yakni: placement, layering dan integration. ( Money Laundering : a Banker;s Guide To Avoiding Problems, (occ.treas.gov/launder/org.htm).

Placement merupakan upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktifitas kejahatan. Dalam hal ini terdapat pergerakan phisik dari uang tunai, baik melalui penyeludupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan melakukan penempatan uang giral ke dalam sistem perbankan, misalnya deposito, saham-saham atau juga mengkonversikan kedalam mata uang lainnya atau transfer uang kedalam valuta asing.

Layering , sebuah aktifitas memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ketempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan/mengelabui sumber dana “haram” tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin ke rekening-rekening perusahaan-perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.

Integration, yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai suatu ' legitimate explanation' bagi hasil kejahatan. Disini uang yang di ‘cuci' melalui placement maupun layering dialihkan kedalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktifitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang di cuci. Pada tahap ini uang yang telah dicuci dimasukkan kembali kedalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum.


Hubungan illegal logging dan pencucian uang

Lantas, bagaimana menjerat para bupati tersebut dengan UU TPPU ? Agar lebih memudahkan mendapatkan gambaran hubungan antara tindak pidana illegal logging dengan tindak pidana pencucian uang dapat dilihat dari contoh simulasi sebagai berikut : PT. Rimba Kapuas Sejati (PT.RKS)) pemilik areal HPH di wilayah Kalimantan. Pada tahun 2004 PT RKS mendapat kredit dari Bank X sebesar USD 1.000.000. Dari formulir permohonan kredit yang disampaikan oleh PT. RKS di Bank X, omzet penjualan hasil Hutan Tanaman Industri yang dikelolanya sebesar USD 1.000.0000/ tahun. Dari catatan mutasi rekening Giro PT. RKS di Bank X diketahui bahwa selama tahun 2005, PT. RKS melakukan transaksi ekspor sebanyak 20 kali dengan nilai transaksi ekspor rata-rata sebesar USD 100.000. Seluruh dana yang diperoleh dari hasil ekspor dimasukkan dalam rekening giro PT. RKS di Bank X.

Sekitar 80 % dana dari hasil ekspor yang masuk ke rekening Giro PT. RKS selalu ditransfer kembali ke beberapa rekening perusahaan yang berada di Cina dan Malaysia. Perusahaan-perusahaan yang menerima dana transfer dari PT. RKS umumnya bergerak di bidang usaha yang tidak ada hubungannya dengan usaha perkayuan, seperti usaha properti, restaurant, perusahaan garment dan lain-lain.

Catatan rekening giro PT. RKS menunjukkan pula adanya pengiriman dana ke beberapa rekening atas nama Tito Hartono alias Bun Ciou (TH), yang disebut-sebut oleh media massa sebagai cukong kayu kelas kakap, kini buronan Mabes Polri. Ia telah diindikasikan terkait atas penjarahan hutan lindung di wilayah Kalimantan Begitu juga dengan Asiong (AS), ia mendapatkan aliran dana – sementara dirinya sedang dicari polisi karena diindikasikan telah melakukan illegal logging . Kemudian ada pula pengiriman dana kepada Eriko SL (ESL) mantan Bupati yang mengeluarkan izin Hak Pengusahaan Hutan kepada PT. RKS.

Pola transaksi dan alirana dana sebagaimana di gambarkan di atas terdeteksi melalui mekanisme kewajiban pelaporan oleh bank. Bank sebagaimana halnya dengan penyedia jasa keuangan lainnya juga di wajibkan untuk melaporkan transaksi mencurigakan yaitu transaksi sebagaimana diatur UU TPPU Pasal 1 Ayat (7) disebutkan Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah :
a. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan;
b. transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini; atau
c. transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
Tansaksi keuangan PT. RKS mencurigakan, karena transaksi diluar profil usaha yang tercatat di Bank X. Bank X menyampaikan pula LTKM atas nama TH, AS dan ESL kepada PPATK dengan pertimbangan nama-nama tersebut diberitakan oleh media massa sebagai cukong illegal logging dan pihak pemberi ijin yang tidak sesuai dengan peruntukannya.

Analsis terhadap laporan LTKM menunjukkan indikasi tindak pidana pencucian uang yang diketahui dari transaksi yang dilakukan ke perusahaan yang ada di Cina dan Malaysia, dimana 80 persen dari hasil penjualan kayu yang dilakukan tersebut ditransfer kembali ke pada perusahaan-perusahaan yang umumnya bergerak di bidang usaha yang tidak ada hubungannya dengan usaha perkayuan. Pola transaksi ini dikenal dengan layering - dan telah melanggar UU TPPU Pasal 1 ayat (1) : perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan Hasil Tindak Pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah.

Transfer dana dari PT. RKS kepada TH, AS memiliki indikasi kuat telah melanggar UU TPPU Pasal 2 : hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana ayat (1) huruf (v) dibidang kehutanan dan (w) lingkungan hidup. Sementara transfer dana dari PT. RKS kepada ESL diindikasikan telah melakukan penyuapan yang melanggar Pasal 2 ayat (1) huruf (b) penyuapan. Sedangkan ESL dapat dikenakan tuduhan sebagai pihak yang telah melakukan korupsi. Indikasinya telah melanggar Pasal 2 ayat (1) huruf (a) korupsi.

Polri atas dasar informasi tersebut dapat lebih mudah melakukan penyidikan, selanjutnya disampaikan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk dilimpahkan ke pengadilan. Tampaknya mudah, dan UU TPPU ini cukup efektif bila berjalan. Tapi apakah begitu dilapangan ? mari kita lihat bersama.


* Penulis pembelajar masalah-masalah tindak pidana pencucian uang, tinggal di Tangerang.
Dimuat oleh Koran Tempo, Sabtu 17 Desember 2005

1 komentar:

Edi Nasution mengatakan...

Kami mengucapkan selamat atas keberadaan situs anti money laundering ini dan ditunggu karya-karya tulis berikutnya.