Senin, 26 Maret 2012

Penegakan Hukum Pencucian Uang

Dimuat oleh Harian Media Indonesia, Selasa, 27 Maret 2012
Rubrik Opini halaman 20.

Natsir Kongah Pembelajar masalah-masalah tindak pidana pencucian uang
Penegakan Hukum Pencucian Uang

SENANG bisa bersentuhan secara intelektual dengan Romli Atmasasmita,
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran.

Banyak hikmah dapat kita ambil dari tulisan yang dimuat Media Indonesia
(Selasa, 20 Maret 2012) di rubrik Opini dengan judul 'Misteri Penegakan
Hukum Pencucian Uang'. Di sisi lain, banyak pula hal yang luput dari dia
sehingga pernyataan yang ada mengandung persepsi dan pandangan yang
tidak lurus dengan makna yang kurang pas.

Romli menyebutkan, '... mengapa laporan PPATK tidak memuat laporan hasil
analisis TKM yang berasal dari rekening korporasi nasional dan asing
yang beroperasi di Indonesia.

Pun mengapa justru rekening PNS dan aparatur penegak hukum dipandang
lebih penting daripada korporasi tersebut.

Konteks ini patut dipersoalkan apakah pemberantasan pencucian uang hasil
korupsi atau tindak pidana lainnya sengaja dibidikkan kepada
penyelenggara negara sehingga mental penyelenggara negara terkesan
sangat bobrok jika dibandingkan dengan mental pengusaha korporasi itu
sendiri, terutama di hadapan publik dalam dan luar negeri....' Pada
dasarnya, tugas Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
sebagai financial intelligence unit (FIU) tidak memandang pelaku

itu sebagai birokrat, teknokrat, legislatif, eksekutif, maupun
yudikatif, apalagi sampai menilai moral atau mental pihak yang
dilaporkan. Pasal 3 UU Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) menyebutkan, 'Setiap orang yang
menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan,
menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk,
menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana, dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul
Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang'.

PPATK bekerja dengan mekanisme menerima laporan transaksi keuangan
mencurigakan (LTKM) yang disampaikan penyedia jasa keuangan (PJK) dan
penyedia barang dan jasa (PBJ). Setelah itu, laporan tersebut dianalisis
PPATK dengan menggunakan berbagai sumber informasi untuk kemudian
dianalisis dengan menggunakan berbagai metode yang telah terasah serta
teruji yang dilakukan sumber daya manusia yang memiliki sertiļ¬ kasi
khusus untuk itu. Hasil analisis (HA) PPATK selanjutnya disampaikan
kepada penyidik untuk mengembangkan dan mencari

alat bukti yang kemudian disampaikan kepada jaksa pen nuntut umum untuk
diajukan k ke depan majelis hakim.

Sejatinya, dari LTKM perorangan yang berindikasi melakukan tindak pidana
pencucian uang itulah akan menjalar dan diketahui pula pihak-pihak lain
yang terlibat di dalamnya, baik ia bersifat individu maupun korporasi.
Istilah lain, Guy Stessen dalam bukunya, Money Laundering: A New
International Law Enforcement Model, menyebutkan secara umum ada tiga
alasan mengapa kejahatan pencucian uang perlu diperangi dan dinyatakan
sebagai tindak pidana. Pertama, pencucian uang dapat meme ngaruhi sistem
keuangan dan ekonomi yang diyakini berdampak negatif bagi perekonomian,
misalnya dampak negatif terhadap efektivitas penggunaan sumber daya dan
dana. De ngan adanya pencucian uang, sumber daya dan dana kerap
digunakan untuk kegiatan tak sah dan merugikan masyarakat. Kedua,
pengkriminalisasian pencucian uang sebagai tindak pidana akan lebih
memudahkan penegak h uk u m menyita hasil tindak pidana. Ketiga,
pengkriminalisasian pencucian uang sebagai tindak pidana serta adanya
ketentuan dan sistem pelaporan transaksi dalam jumlah tertentu serta
transaksi yang mencurigakan akan kian memudahkan penegak hukum
menyelidiki kasus tindak pidana sampai tokoh-tokoh yang ada di belakangnya.

Misalnya saja kasus Dhana Widyatmika (DW), oknum pegawai pajak yang
menjadi tersangka korupsi dan pencucian uang. Media massa menyebutkan
PPATK menyampaikan HA terkait dengan DW yang terindikasi melakukan
tindak pidana pencucian uang. Lalu, penyidik dalam hal ini lam hal ini
Kejaksaan Agung menggali alat buk ti terkait dengan dugaan tersebut.

D a r i hasil pe nelusur an tersebut, ditemu kan bukti-bukti yang
memadai sehingga menjadikan terlapor sebagai tersangka. Selanjutnya,
penyidik menemukan pula bukti keterlibatan tersangka dengan beberapa
korporasi, termasuk korporasi asing. Tersangka Dhana Widyatmika memegang
beberapa perusahaan wajib pajak, salah satunya sebuah perusahaan asing
yang bergerak di bidang transportasi, PT CT. Dhana ternyata juga pernah
mengurus pajak perusahaan tersebut hingga maju ke Pengadilan Pajak.

Begitu juga dengan kasus terpidana Gayus Tambunan (GT).
Dari HA yang disampaikan PPATK, itu berkembang terus dan sampai kepada
pengakuan GT di dalam persidangannya bahwa uang yang ia terima berasal
dari korporasi. Inves tor Daily Indonesia (27/2/2011) menuliskan, '...
sejumlah fakta sudah terungkap dengan amat jelas. Gayus berkali-kali
mengaku bahwa dia hanyalah ikan teri, operator lapangan yang bekerja
berdasarkan order.

Itu berarti ada aktor utama, si pemberi perintah.

Dalam kesaksian, Gayus juga menyebutkan menerima uang Rp30 miliar dari
beberapa perusahaan sebagai imbalan atas 'bantuan' menyelesaikan
persoalan pajak oleh perusahaan-perusahaan itu. Terlihat ada kerja sama
erat antara penyedia uang dan penerima yang bekerja di lapangan. Ada
juga laporan hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
terhadap enam perusahaan yang diduga memanipulasi pajak senilai
triliunan rupiah. Total nilai sengketa pajak yang kini sedang diproses
ternyata mencapai puluhan triliun. Itu data Ditjen Pajak. Hasil audit
BPK tersebut menemukan banyak penyimpangan dan pelanggaran'.

Fakta yang disampaikan media massa tersebut menunjukkan adanya
keterlibatan orang per orang, oknum perusahaan, dan pihak-pihak lainnya.
Tindak lanjut atas HA yang disampaikan PPATK tersebut bukan lagi
kewenangan PPATK, melainkan penyidik untuk mengembangkan kepada pihak
lainnya, termasuk korporasi yang diduga terlibat. Membangun rezim
antipencucian uang yang efektif di Indonesia tidaklah dapat disandarkan
kepada salah satu institusi semata, tetapi harus dilakukan kerja sama
yang kuat di antara

instansi terkait.

Kerja sama yang baik antarinstansi terkait dapat kita lihat dari
terbongkarnya kasus L/C fiktif yang dilakukan Adrian Herling Waworuntu
dan kawan-kawan yang menimbulkan kerugian negara atau perekonomian
negara sebesar Rp1,2 triliun lebih.

PPATK, Polri, kejaksaan, dan pengadilan bekerja secara optimal sehingga
Pengadilan Tinggi Jakarta memutuskan pada 24 Juni 2005 terdakwa Adrian
Herling Waworuntu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana 'turut serta melakukan tindak pidana korupsi yang
dilakukan secara berlanjut' sebagaimana dalam dakwaan primer; menghukum
terdakwa dengan pidana penjara selama seumur hidup; menghukum terdakwa
dengan pidana denda sebesar Rp1 miliar subsider 1 (satu) tahun kurungan
dan menghukum terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp300 miliar;
serta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Dari fakta tersebut, menurut hemat saya, tidak ada lagi hal yang perlu
diragukan atas keberadaan dan kemaslahatan yang telah dilakukan PPATK,
kepolisian, kejaksaan, dan instansi terkait lainnya, apalagi sampai
menimbulkan misteri.

Tinggal bagaimana kita secara bersama-sama terus mengawal dan mendorong
agar rezim antipencucian uang di Indonesia dapat berjalan secara optimal.

Simak pula pertanyaan yang disampaikan Sor Juana Ines de la Cruz, salah
seorang penyair terbesar Meksiko pada Abad ke17, "Siapa yang paling
bersalah dalam dosa bersama? Si perempuan yang menjual dosa atau si
lelaki yang membeli dosa?"

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/03/27/ArticleHtmls/Penegakan-Hukum-Pencucian-Uang-27032012020004.shtml?Mode=1