Selasa, 30 Oktober 2007

BANK DAN PENCUCIAN UANG

CITRA PERBANKAN dan
PENCUCIAN UANG [1]

Oleh :

Natsir Kongah[2]
Pengantar

Anyaman kepercayaan yang dibangun oleh perbankan terhadap masyarakat meski telah dibangun bertahun-tahun dapat pupus dalam waktu sekejab. Hal ini dapat dilihat dari krisis multi dimensi yang terjadi tahun 1997 lalu. Dari hasil survey yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC), 2002 terlihat persepsi masyarakat terhadap perbankan nasional sampai kinipun belumlah begitu kuat. Salah satu point dari hasil penelitian tersebut memberikan gambaran bahwa kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional, meski mulai membaik – namun belum sepenuhnya kembali seperti sebelum terjadinya krisis.

Ini menunjukkan bahwa kepercayaan dan citra merupakan modal dasar bagi industri perbankan didalam membangun dan mengembangkan bisnisnya, dimanapun ia berada!.

Pekan lalu, manajemen Commerzbank, bank publik terbesar ketiga di Jerman memastikan, Klaus-Peter Mueller, petinggi Commerzbank sedang diselidiki atas tuduhan terlibat kasus pencucian uang terbesar di Rusia bersama dengan beberapa stafnya. Pernyataan itu dikeluarkan secara resmi oleh Commerzbank menanggapi laporan Majalah Mingguan Der Spiegel.[3] Kondisi ini langsung membuat saham bank tersebut anjlok, akibat turunnya kepercayaan masyarakat terhadap bank yang sebelumnya memiliki reputasi cukup baik ini.

Dua pekan lalu, tepatnya 17 Agustus 2005, Financial Crimes Enforcement Natwork dan Office (FinCEN) dan Office of the Comptroller of the Currency telah menjatuhkan sanksi denda sebesar US$ 24 juta terhadap Arab Bank Cabang New York karena tidak mengimplementasikan ketentuan anti pencucian uang sebagaiman diatur oleh Bank Secrecy Act.

Sanksi administratif berupa denda, agaknya bukanlah masalah yang begitu merisaukan bagi bank berasset besar seperti ini. Tapi yang menjadi masalah adalah resiko reputasi akibat kurangnya kepercayaan masyarakat atas keberadaan suatu bank, sebagaimana yang dialami pula oleh Riggs National Corp.

Riggs National Corp, merupakan sebuah bank besar dengan asset U$ 6.37 miliar. Bank yang didirikan tahun 1836, dengan jumlah karyawan 1450[4] itu didenda oleh otoritas yang berkuasa di Amerika sebanyak U$ 25 juta karena tidak melaporkan laporan transaksi keuangan mencurigakan sebagaimana ketentuan Bank Secrecy Act Amerika.[5].

Tak hanya itu, rentetan kesialan terus menimpa Bank yang berkantor pusat di 1503 Pennyslvania Ave. NV Washington DC 20005. Bank yang memiliki 48 kantor cabang yang dibangun secara perlahan selama 178 tahun itu mengalami penurunan harga saham yang cukup signifikan dari harga tertinggi dalam 52 minggu terakhir $ 17.65 per saham, anjlok keangka $15.31 persaham[6]. Selanjutnya, kursi empuk President Riggs National Corp. yang diduduki oleh Timothy C.Coughlin sejak tahun 1992 dan kariernya selama 21 tahun di Riggs terpaksa harus dicopot. Penutup dari persoalan bank ini, meskipun belum dapat dikatakan selesai – ia harus rela di take over oleh pihak lain dengan berganti nama.

Kasus-kasus diatas merupakan gambaran betapa malangnya Penyedia Jasa Keuangan (PJK) bila tidak menerapkan ketentuan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang ( UU TPPU ) dan begitu rentannya bila ia tidak menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Costumer) yang merupakan bagian dari prinsip kehati-hatian untuk dapat menghindarkan PJK dari risiko reputasi, risiko operasional, risiko hukum dan risiko konsentrasi.

Resiko reputasi tergambar cukup jelas dari apa yang dialami oleh bank yang pernah mencatat rekapitulasi pasar sebanyak $ 468.29 juta ini dengan turunnya harga saham. Resiko reputasi merupakan potensi adanya publisitas negatif mengenai kegiatan usaha PJK yang dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap PJK yang bersangkutan. Risiko ini merupakan ancaman utama bagi bank, karena karakterisktik bisnis bank dalam hal ini sangat memerlukan kepercayaan masyarakat dan pasar pada umumnya. Sedangkan resiko operasional adalah risiko kerugian karena kegagalan resiko proses internal, manusia dan sistem atau faktor eksternal.

Apakah perbankan nasional terbebas dari resiko-resiko ini? Jawabnya tidak!. Sebagaimana diketahui, Indonesia merupakan salah satu negara yang enak tempat para launder melakukan pencucian uang, bahkan media massa sempat menyebut bahwa Indonesia surga dari tempat pencucian uang.



UU TPPU dan Kejahatan Perbankan

Undang – Undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.25 Tahun 2003 (UU TPPU) sebagaimana diatur didalam Pasal 2 menyebutkan bahwa Hasil Tindak Pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana : korupsi; penyuapan; penyeludupan barang; penyeludupan tenaga kerja; penyeludupan imigran; di bidang perbankan; di bidang pasar modal; di bidang asuransi; narkotika; psikotrapika; perdagangan manusia; perdagangan senjata gelap; penculikan; terorisme; pencurian; penggelapan; penipuan; pemalsuan uang; perjudian; prostitusi; di bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan; atau tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.

UU TPPU ini dapat dimanfaatkan oleh aparat penegak hukum sebagai alas berpijak untuk menjerat para pelaku, khususnya para aktor intelektual yang mendanai kegiatan illegal logging, perdagangan narkotika, korupsi, perdangan manusia dan lainnya. Lewat pendekatan ini, tidak hanya secara phisik para pelaku dapat dideteksi, tapi juga harta kekayaan dari hasil-hasil tindak kejahatan tersebut dapat di trasir.

Didalam konsep tindak pidana pencucian uang, hal yang utama dikejar adalah uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan, dengan alasan. Pertama, bila mengejar pelakunya lebih sulit dan beresiko. Kedua, bila dibandingkan dengan mengejar pelaku akan lebih mudah dengan mengejar hasil dari kejahatan. Ketiga, hasil kejahatan merupakan darah yang menghidupi tindak pidana itu sendiri (live bloods of the crime). Bila hasil kejahatan ini dikejar, dan disita untuk negara dengan sendirinya akan mengurangi tindak kejahatan itu sendiri[7].


Pengertian dan Pola Pencucian Uang

Secara sederhana pencucian uang merupakan suatu perbuatan memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari suatu tindak pidana yang kerap dilakukan oleh criminal organization, maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotika, kejahatan kehutanan, kejahatan lingkungan hidup dan tindak pidana lainnya dengan tujuan menyembunyikan, menyamarkan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut, sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari kegiatan yang ilegal. Adapun yang melatarbelakangi para pelaku pencucian uang melakukan aksinya adalah dengan maksud memindahkan atau menjauhkan para pelaku itu dari kejahatan yang menghasilkan proceeds of crime, memisahkan proceeds of crime dari kejahatan yang dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya kecurigaan kepada pelakunya, serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk aksi kejahatan selanjutnya atau ke dalam bisnis yang sah.

UU TPPU memberi tugas kepada PPATK (pasal 26 dan pasal 27) antara lain: mengumpulkan, menyimpan, menghimpun, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh dari penyedia jasa keuangan; membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan transaksi keuangan yang mencurigakan; memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi lain yang berwenang mengenai informasi yang diperoleh sesuai ketentuan UU TPPU; memberikan rekomendasi kepada Pemerintah sehubungan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; melaporkan hasil analisis terhadap transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian untuk kepentingan penyidikan dan Kejaksaan untuk kepentingan penuntutan dan pengawasan; membuat dan menyampaikan laporan mengenai analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala kepada Presiden, DPR dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan bagi Penyedia Jasa Keuangan (PJK).

Sedangkan kewenangan PPATK, antara lain : meminta dan menerima laporan dari PJK; meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada penyidik atau penuntut umum. Dari tugas dan wewenang tersebut di atas terdapat dua tugas utama yang menonjol dalam kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, yaitu tugas mendeteksi terjadinya tindak pidana pencucian uang dan tugas membantu penegakan hukum yang berkaitan dengan pencucian uang dan tindak pidana yang melahirkannya (predicate offences).

Dalam rangka mendeteksi tindak pidana pencucian uang, PPATK menerima laporan, yaitu :
a. Laporan transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikan oleh penyedia jasa keuangan (pasal 1 angka 6 7 dan pasal 13 UU TPPU);
b. Laporan yang disampaikan oleh penyedia jasa keuangan tentang transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif Rp 500 juta atau lebih (pasal 1 angka 8 dan pasal 13UU TPPU);
c. Laporan yang disampakan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai mengenai pembawaan uang tunai rupiah ke dalam atau ke luar wilayah negara Republik Indonesia sejumlah Rp 100 juta atau lebih (pasal 16).


Selanjutnya dalam proses penegakan hukum, PPATK dapat melakukan kerjasama dan membantu pihak penyidik dan penuntut umum dengan informasi yang dimiliki dan kemampuan analisisnya. Informasi tersebut dapat berasal dari data base PPATK atau dapat juga berasal dari sharing information dengan FIU dari negara lain.


Disamping itu, menurut Keppres No.82 Tahun 2003, PPATK juga menerima informasi dari masyarakat yang terindikasi telah melakukan tindak pidana pencucian uang Di dalam praktek saat ini berdasarkan kewenangan yang tertuang di dalam Keppres No. 82 Tahun 2003, PPATK dapat pula menerima informasi dari pihak ketiga baik perorangan maupun entitas mengenai dugaan tindak pidana pencucian uang oleh sesuatu pihak.

Sanksi Bagi PJK yang Tidak Melapor

Sanksi pidana bagi PJK yang tidak melaksanakan ketentuan diatas sebagaimana diatur didalam Pasal 8 UUTPPU menyebutkan bahwa Penyedia Jasa Keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) UUTPPU, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah.

Selain itu didalam Pasal 6 UU TPPU diatur pula bagi setiap orang yang menerima atau menguasai : penempatan; pentransferan; pembayaran; hibah; sumbangan; penitipan atau penukaran, harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).


Jumlah ini memang tidak sebanding dengan sanksi yang di jatuhkan terhadap Riggs National Corp. sebanyak $ 25 juta oleh Bank Sentral Amerika dan perbankan nasional sejauh ini belum ada yang menerima sanksi pidana sesuai dengan UU TPPU . Tapi percayalah, bila hal ini tidak diterapkan – sanksi itu akan dijatuhkan. **
Fote Note
[1]. Makalah disampaikan pada Forkamas Gathering 2005 sebagai bahan berbagi informasi antar praktisi Humas. Denpasar 31 Agustus – 1 September 2005.

[2] . Penulis praktisi Public Relations Pusat Pelaporan dan Analisis transaksi Keuangan (PPATK)

[4]. Riggs National Corp, http://www.riggsbank.com/, didownload pada tanggal 1 Juni 2004

[5]. Kathleen Day, “Riggs May Be Fined More Than $ 25 Million, Penalty Related to Bank

Secrecy Act” 28 April 2004. http:www.washingtonpost.com/wp-dyn/articles/A47866-2004Apr27.html.
[6]. Kathleen Day dan Terence O’Hara, “Riggs Starts Exploring Possible Sale, President of Bank’s Parent Firm to Resign” 28 Mei 2004. http://www.washingtonpost.com/wp-%20dyn/articles/A61810-%20%20%20%20%20%202004May27.html?referrer=email, didownloan pada tanggal 1 Juni 2004.

[7]. Bandingkan dengan Robert E.Powis, The Money Launderers, (Singapore : Probus Publishing Co., 1992) sebagaimana dikutip oleh Hikmahanto Juwana dalam makalahnya, “ Beberapa Aspek Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang” disebutkan pada awalnya pencucian uang dikenal di negara-negara industri seperti Amerika Serikat (AS). Pada saat itu uang hasil dari tindak kejahatan seperti bandar narkoba, prostitusi, perjudian dan lain sebagainya yang disebut sebagai predicate crime dikelola sedemikian rupa sehingga tidak mudah untuk dilacak dan ditentukan bahwa uang tersebut merupakan hasil kejahatan. Pemerintah AS mengambil tindakan tegas melalui pembentukan UU Bank Secrecy Act terhadap pelaku pencuci uang profesional dengan tiga harapan. Pertama, dengan mengundangkan peraturan yang terkait dengan larangan pencucian uang maka para pencuci uang profesional atau lembaga-lembaga yang mewadahinya akan dapat dikenakan sanksi hukum pidana. Kedua, bagaimana uang hasil kejahatan dapat dilacak yang kemudian dapat dirampas oleh negara. Ketiga, agar uang dari hasil kejahatan tidak terus berkembang biak dan memberikan keuntungan bagi pemiliknya (yang mungkin digunakan untuk mendanai kegiatan kejahatan juga, seperti terorisme), dan diharapkan dapat mempersempit penggunaan uang dimaksud.

[8]. “Factsheet : IMF and the Environment”; “Review of the Fund’s Experience in Governance Issues,” IMF Policy Development and Review Department, 28 Maret 2001. http://www.imf.org/external%20/np/gov/2001/report.htm.

TANYA-JAWAB

SEPUTAR TRANSAKSI KEUANGAN
(Dimuat oleh okezone.com)

Pertanyaaan :
Salam kenal Mas Natsir. Saya Agung Setiawan, bekerja di perusahaan swasta. Saya punya pengalaman yang kurang mengenakan. Ceritanya, bapak saya di Klaten, Jawa Tengah, membuka show room mobil. Nah suatu saat kami kedatangan pembeli, mereka membeli satu unit sepeda motor dari show room kami. Namun, selang beberapa pekan kemudian, kami dikagetkan dengan kedatangan anggota kepolisian. Mereka menyatakan bahwa salah satu perampok menggunakan uang hasil kejahatannya itu untuk membeli sepeda motor di show room kami. Nah pertanyaannya, bagaimana hukumnya dengan kejadian seperti yang kami alami itu. Apakah itu juga termasuk praktik money laundering ?. Terus bagaimana nasib kami? Kan kami tidak mungkin setiap kali menanyakan kepada pembeli uangnya hasil merampok atau bukan? Kan tidak etis. Begitu saja pertanyaan saya Mas Natsir.

Jawaban :
Mas Agung Setiawan yang baik. Terimkasih atas pertanyaan yang disampaikan. Sebelum saya menjawab inti dari pertanyaan yang disampaikan, saya jelaskan terlebih dahulu pengertian pencucian uang. Apa sebenarnya definisi pencucian uang itu ? Pencucian uang merupakan suatu perbuatan atas harta kekakayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.

Bilamana sepeda motor di show room orang tua anda dibeli dengan uang hasil kejahatan yang kemudian pelaku menjual kembali sebagai upaya untuk mengaburkan agar uang yang ia peroleh tampak seolah-olah hasil yang sah, orang tersebut dapat diindikasikan telah melakukan pencucian uang. Sementara orang tua anda, sama sekali tidak terlibat didalam melakukan tindak pidana pencucian uang karena ia sama sekali tidak mengetahui bahwa uang yang digunakan untuk membeli sepeda motor tersebut dari hasil kejahatan. Jadi tenang saja. Untuk lebih amannya saya menyarankan orang tua anda, didalam melakukan transaksi jual beli mobil ataupun sepeda motor untuk dapat membuat secarik surat pernyataan dari pembeli bahwa uang yang ia gunakan bukan berasal dari hasil tindak pidana.

Sebagai informasi perlu pula saya sampaikan, dalam waktu dekat Komisi III DPR – RI akan membahas amandemen Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 25 tahun 2003 (UU TPPU). Didalam perubahan tersebut, kalau selama ini pihak pelapor itu hanyalah penyedia jasa keuangan nantinya akan dikembangkan pula bahwa profesi seperti advokat, notaris, pejabat pembuat akte tanah, penyedia barang dan/atau jasa lainnya (seperti perusahaan properti/agen properti, dealer mobil, pedangan permata dan perhiasan/logam mulia, pedagang barang seni dan antik, atau balai lelang) merupakan sebagai pihak pelapor juga, yang harus memberikan laporan kepada PPATK. Semoga jawaban yang saya berikan dapat meredam rasa was-was anda dan keluarga.


OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO

Pertanyaan :
Saya Suparno, bekerja sebagai PNS di Solo. Saya ingin menanyakan tentang masalah transaksi keuangan terkait dengan dana milik Pemda. Beberapa media massa beberapa waktu lalu memberitakan bahwa ada transaksi yang dilakukan Pemda di bursa (BEJ). Pertanyaan saya, apakah transaksi atau penempatan dana Pemda itu menyalahi aturan? Adakah ketentuan baku yang mengatur penempatan dana Pemda baik melalui perbankan, SBI, pasar modal dan lainnya? Terima kasih atas jawabannya.

Jawaban :
Terimakasih pula atas pertanyaan yang Bung Suparno sampaikan.. Secara spesifik Undang-undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara maupun Undang-undang No.17 tentang Keuangan Negara tidak mengatur tentang transaksi ataupun penempatan dana yang dikelola oleh Pemerintah Daerah (Pemda). Yang jelas sepanjang dana itu merupakan milik negara maka ia wajib dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efesien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Untuk melakukan transaksi di Bursa Efek, pada prinsipnya dapat dilakukan oleh siapapun termasuk bendaharawan PEMDA atau Pengelola Dana PEMDA melalui wakil perantara pedagang efek (pialang) - sepanjang mereka tercatat sebagai nasabah perusahaan efek yang dibuktikan dengan rekening efek yang dimiliki. Untuk dapat menjawab pertanyaan yang Bung Suparno sampaikan ini, perlu diketahui secara jelas dana yang ditransaksikan di bursa efek tersebut apakah atas nama bendaharawan untuk dan atas nama Pemda?, kemudian apakah dana tersebut milik Pemda, namun diluar APBD ? Apakah keuntungan (gain) yang diperoleh dimasukkan kekas Pemda atau bukan? Dan kalau merugi, bagaimana mekanisme tanggung jawabnya? Bila hal-hal ini dapat tergambar, mungkin kami dapat menjawab lebih komprehensif lagi.

Dalam pengelolaan anggaran Pemda, ada yang disebut dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang peruntukannya sudah terbagi jelas untuk pengeluaran ini dan itu, dan juga ada Dana Alokasi Umum (DAU). Dana ini dialokasikan untuk tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang penggunaannya ditetapkan sesuai dengan prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah (block grant). DAU untuk suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal merupakan kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah, sedangkan alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah (PNSD). Kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum, yang antara lain berupa penyediaan layanan kesehatan, pendidikan, penyediaan infrastruktur, dan pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Sementara itu, kapasitas fiskal daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari pendapatan asli daerah (PAD) dan dana bagi hasil.

Dari pemberitaan yang ada di media massa tentang penempatan dana Pemda pada bursa efek, saya menduga dana tersebut berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU) yang digunakan oleh Pemda dengan menggunakan nama pribadi. Mudah-mudahan jawaban ini sesuai dengan keinginan yang disampaikan oleh Bung Parno.

OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO

Pertanyaan :
Pak Natsir, saya Ahmad Junaidi, saya baru-baru ini sering membaca media massa tentang kekayaan mantan Presiden Soeharto. Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga menyatakan mantan orang nomor satu di Indonesia itu adalah pejabat terkorup yang menikmati kekayaan Negara. Pertanyaan saya, adakah otoritas di Indonesia yang mampu mengejar aset mantan Presiden Soeharto itu, termasuk ke luar negeri. Lembaga seperti PPATK apakah memiliki kekuatan untuk melakukan pemeriksaan (asset tracing) ? Terimakasih atas jawabannya.


Jawaban :
Hallo Bung Ahmad Junaidi, semoga anda selalu dalam keadaan sehat dan tetap semangat. Jaksa Agung, merupakan lembaga negara yang memiliki otoritas untuk dapat mengejar asset mantan Presiden Soeharto, dan dapat dibantu oleh intansi terkait lainnya. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sebagai lembaga intelijen di bidang keuangan tentu dapat berperan aktif membantu para penegak dalam mensuplai data-data dan menelusuri asset-aset, terlebih asset yang dilarikan keluar negeri. Peran ini dapat dimainkan oleh PPATK mengingat jaringannya yang cukup luas dengan financial intelligence unit (FIU) negara –negara lain. Jaringan kerjasama itu dibangun lewat hubungan formal maupun non formal, dan biasanya jaringan kerjasama itu berupa tukar-menukar informasi intelijen dibidang keuangan yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang (money laundering) ataupun tindak pidana lainnya.

Dari informasi yang saya dapatkan, sejauh ini PPATK telah menandatangani nota kesepahatan dengan 23 FIU negara lain, lima diantaranya dilakukan pada tahun 2007 masing – masing dengan FIU Mauritius, FIU Bermuda, FIU Selandia Baru, FIU Turki dan FIU Finlandia. Selain kerjasama bilateral, PPATK juga menjalin hubungan kerjasama dalam bentuk multilateral, dimana sejak bulan Juni 2004 PPATK bergabung kedalam the Egmont Group sejak bulan Juni 2004. The Egmont Group (TEG) sebagai anggota. The Egmont Group merupakan organisasi internasional informal yang dibentuk pada tahun 1995 di Egmont-Arenberg Palace di Brussel. The Egmont Group beranggotakan Financial Inteligence Unit (FIU) dari berbagai negara, yang sebagian besar merupakan focal point dari rezim anti pencucian uang di masing-masing negara. Saat ini TEG beranggotakan FIU dari 106 negara. Dengan menjadi anggota TEG, maka pertukaran informasi intelijen keuangan dapat dilakukan secara bebas dengan sesama anggota TEG mengingat adanya norma-norma dalam TEG yang wajib ditaati oleh seluruh anggota.


OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO

Pertanyaan :
Perkenalkan nama saya Agus Sudono, asli Lampung. Saya ingin bertanya mengenai asset-aset para koruptor termasuk para pengemplang BLBI. Saat ini asset mereka pada di mana? Bagaimana dengan hasil pengejaran dari aparat. Sebenarnya apakah ada cara untuk mengejar asset-aset para pengemplang uang negara itu. Apakah mereka juga bisa dijerat dengan UU Anti Pencucian Uang, karena banyak diantara mereka kini mulai menunjukkan giginya lagi. Terimakasih.

Jawaban :
Terimakasih Bung Agus Sudono atas pertanyaan bernas yang anda sampaikan. Asset-asset para koruptor termasuk para pengemplang BLBI tentu sudah tersebar kemana-mana dan ditempatkan pada berbagai instrumen yang ada, seperti : pasar modal, real estate, perbankan, pembelian barang-barang mewah dan lain-lain. Hasil korupsi yang dilakukan oleh bos Bank Harapan Sentosa Hendra Raharja, misalkan sudah tersebar ke berbagai negara antara lain Asutralia dan Hongkong. Abang Edi Tanzil ini terbukti telah melakukan penyalahgunaan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sehingga merugiakan negara sebesar Rp. 1,95 trilyun.

Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai cara untuk dapat mengembalikan asset yang telah di ”kemplang” tersebut, antara lain dengan bekerjasama dengan pemerintahan dimana asset tersebut diduga berada, namun sejauh ini hasil yang diperoleh masih harus terus ditingkatkan. Untuk dapat mengembalikan hasil korupsi ataupun tindak pidana yang merugikan keuangan negara telah dilakukan upaya-upaya untuk dapat terus mengejarnya. Hal ini sejalan dengan apa yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini. PBB telah menetapkan sejumlah konvensi yang berkaitan dengan upaya menekan tingkat kejahatan, yakni dengan keluarnya United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Phychotropic Substances pada tahun 1988 dan United Nations Conventions on Transnational Organized Crime (UNTOC) pada tahun 2000 serta United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) pada tahun 2003. Beberapa hal penting yang termaktub dalam konvensi ini adalah pengaturan yang berkaitan dengan penelusuran, penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana termasuk penelusuran, penyitaan dan perampasan hasil dan kerjasama internasional dalam rangka pengembalian hasil dan instrumen tindak pidana antar negera.

Indonesia sendiri, saat ini sedang menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Asset. Rencananya dalam waktu dekat akan disampaikan oleh Pemerintah kepada DPR-RI. Keberadaan undang-undang ini merupakan salah satu bagian dari Rencana Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Tahun 2007 – 2011 untuk dapat mendukung keberadaan Pembangunan Rezim Anti Pencucian Uang di Indonesia. Beberapa point penting dari RUU ini adalah adanya mekanisme didalam melakukan penyitaan dan perampasan asset tanpa perlu adanya tersangka atau terdakwa/terpidana. Proses hukum yang dilakukan lebih pada masalah asset, bukan pada orang per orang.

Banyak negara telah berhasil menerapkan undang-undang perampasan aset ini, seperti Inggris yang telah menetapkan Undang-undang Proceed of Crime Act (POCA) yang antara lain mengatur mengenai penyitaan dan perampasan hasil dan insturmen tindak pidana. Sejak undang-undang ini diberlakukan tahun 2003, negara itu telah berhasil merampas sekitar 234 juta pounsterling (setara dengan Rp. 4,387 trilyun). Begitu juga dengan Pemerintah Australia, Selandia Baru, Peru, Philipina dan bahkan Nigeria dalam kurun waktu 1998 – 2006 talah berhasil menyita dan merampas hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Jenderal Sani Abacha, mantan Presiden Nigeria sebanyak 800 juta dollar AS dari dalam negeri dan 505 juta dollar AS lebih dari negara Swiss.

Semoga dengan keberadaan Undang-Undang tentang Perampasan Asset dan Undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dapat disinergikan lebih baik lagi untuk dapat mengejar aset maupun harta kekayaan yang dikorup oleh para bandit. Dan semangat anda Bung Agus Sudono teruslah tetap terjaga untuk ikut secara terus menerus melawan korupsi. Semoga dinegeri kita tercinta ini akan tumbuh terus menerus orang-orang yang memiliki tekat membasmi korupsi.


OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO


Pertanyaan:
Keberanian kalangan perbankan untuk melaporkan transaksi keuangan yang mencurigakan di perbankan terutama yang menyangkut pejabat-pejabat pemerintahan masih rendah. Hal itu dinilai sebagai salah satu pemicu meningkatnya tindakan pidana pencucian uang (money laundring) di dunia perbankan dan nonperbankan di Indonesia. Sebenarnya apakah ada mekanisme kontrol ke perbankan dan penyedia jasa keuangan lainnya? Apa saja yang harus dilaporkan oleh perbankan? Institusi apa yang mengawasi transaksi itu? Jika bank tidak melaporkan adakah sanksinya?

Salam
Yudha Kurniawan, Cawang, Jakarta Timur

Jawaban :
Terimkasih Bung Yudha, atas partisipasi dan pertanyaan yang disampaikan.
Sinyalemen anda saya kira memiliki dasar yang kuat. Dari sekitar 4.000 an Penyedia Jasa Keuangan (PJK) yang ada di Indonesia, baru 162 PJK yang memberikan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Dari 162 PJK itu, 113 diantaranya disampaikan oleh industri perbankan, selebihnya non bank (Sumber : statistik yang dikeluarkan oleh PPATK per 28 Februari 2007).

Dari angka itu menunjukkan industri perbankan relatif patuh terhadap ketentuan, dari 130 jumlah perbankan di Indonesia, 113 diantaranya sudah memberikan laporan kepada PPATK. Dari 3.800 lebih PJK lainnya yang belum memberikan laporannya kebanyakan berasal dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Industri Pasar Modal, Industri Asuransi dan Perusahaan non bank lainnya. Dari LTKM yang disampaikan oleh PPATK kepada pihak penegak hukum tersebut, sebahagian berasal dari LTKM pejabat – pejabat yang diindikasikan telah melakukan tindak pidana korupsi.

Mekanisme kontrol yang dilakukan oleh PPATK maupun Regulator dari masing-masing industri itu sudah ada. PPATK misalkan, oleh Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaiman diubah dengan Undang-undang No.25 tahun 2003 ( UU TPPU) memberikan kewenangan untuk dapat melakukan audit. Pasal 27 angka (1) huruf (c) menyebutkan bahwa ; dalam melaksanakan tugasnya, PPATK mempunyai wewenang : melakukan audit terhadap Penyedia Jasa Keuangan mengenai kepatuhan kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan terhadap pedoman pelaporan mengenai transaksi keuangan. Begitu juga dengan Bank Indonesia(BI). BI telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No.3/23/PBI/2001 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No.3/10/PBI./2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle-KYC). Sedangkan Depatemen Keuangan sebagai regulator dari industri asuransi, perusahaan pembiayaan dan dana pensiun telah mengeluarkan ketentuan Prinsip Mengenal Nasabah. Kemudian disusul ketentuan KYC yang dikeluarkan oleh Bapepam pada tanggal 31 Januari 2003.

Bila hasil audit. yang dilakukan oleh PPATK terbukti bahwa PJK tidak melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan (TKM) dan Transaksi Keuangan Tunai (TKT) dalam jumlah kumulatif sebesar Rp500 juta atau lebih atau setara, baik dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja, maka bila PJK bersangkutan dengan sengaja tidak menyampaikan laporan TKM kepada PPATK ia dipidana dendan paling sedikit Rp250 juta dan paling banyak satu milyar rupiah. Sedangkan bila PJK tersebut tidak menyampaikan TKT maka ia mendapatkan denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp300 juta. Regulator dari masing-masing PJK pun dapat memberikan sanksi administratif kepada PJK bersangkutan berupa pencabutan ijin usaha.

Lalu apa saja yang harus dilaporkan oleh perbankan kepada PPATK ?. Bank secara khusus dan PJK secara umum harus melaporkan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dan Laporan Transaksi Keuangan Tunai. Mungkin saya dapat menambahkan pertanyaan yang anda sampaikan – apa yang dimaksud dengan Transaksi Keuangan Mencurigakan ?

Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karekteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan. Transaksi mencurigakan dapat juga dikarenakan transaksi keuangan yang dilakukan oleh nasabah tersebut patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh PJK. Selain itu kategori transaksi disebut dengan transaksi mencurigakan bila transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

Kenapa sih penerapan Prinsip Mengenal Nasabah ini menjadi penting? Hal ini sudah menjadi praktik internasional (international best practices). Bilamana katakanlah industri perbankan gagal didalam menerapkan kebijakan Prinsip Mengenal Nasabah secara khusus dan UU TPPU secara umum, makai ia akan terkena sanksi administratif maupun pidana (pidana denda). Selain itu, risiko lainnya yang menanti ada adalah risiko reputasi, risiko operasional, dan risiko hukum. Dalam sebuah terbitan yang dikeluarkan oleh Basel Committee disebutkan :

Risiko reputasi berhubungan dengan hal-hal yang berpotensi mempengaruhi penilaian masyarakat terhadap praktik-praktik yang dijalankan oleh suatu bank yang dapat mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap integritas bank yang bersangkutan.

Risiko operasional merupakan risiko kerugian yang secara langsung atau tidak langsung bersumber dari internal atau eksternal bank. Risiko ini berhubungan dengan penerapan operasional perbankan, pengawasan internal, dan due diligence yang kurang memadai.

Risiko hukum berkaitan dengan kemungkinan bank menjadi target pengenaan sanksi karena tidak mematuhi standar Prinsip Mengenal Nasabah dan gagal melaksanakan due diligence yang diperlukan terhadap nasabah serta adanya kewajiban laporan. Dalam hal ini bank dapat dikenakan denda atau sanksi lainnya oleh otoritas pengawas bank atau bahkan dikenakan pertanggungjawaban pidana oleh pengadilan. Penyelesaian masalah melalui pengadilan dapat menimbulkan implikasi biaya yang sangat besar bagi bank sehingga mempengaruhi bisnis perbankan yang bersangkutan.


OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO

Pertanyaan :
Indonesia tergolong longgar atas masuknya modal asing. Bagaimana mendeteksi bahwa uang yang di investasikan di Indonesia itu bukan dari money laundering atau pencucian uang ? Selain itu bagaimana otoritas di Indonesia mempu mencegah larinya modal dari dalam negeri yang berhubungan dengan money laundering ?

Budi Susetia, Jakarta Selatan


Jawaban :
Terimakasih atas pertanyaan yang Bung Susetia sampaikan. Anda benar, bahwa Indonesia tergolong longgar atas masuknya modal asing, karena Indonesia menganut sistem devisa bebas. Upaya yang dilakukan untuk dapat mendeteksi uang yang di investasikan tersebut bukan dari hasil money laundering, pemerintah telah melakukan berbagai langkah. Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, Pasal 31 ayat (1) diatur bahwa “Bank Indonesia dapat memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia (BI) terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan”. Dalam hal ini yang dimaksud dengan transaksi tertentu antara lain adalah transaksi dalam jumlah besar yang diduga berasal dari kegiatan melanggar hukum, yang salah satunya tindak pidana pencucian uang.

Selain itu BI menerbitkan ketentuan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle/KYC. Regulator lainnya seperti Bapepam–LK Departemen Keuangan juga mengeluarkan ketentuan yang sama yakni mewajibkan Penyedia Jasa Keuangan (PJK) untuk menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah. Secara garis besar cakupan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah tersebut meliputi kebijakan penerimaan nasabah, pemeliharaan profil nasabah, pemantauan rekening dan transaksi nasabah, serta identifikasi dan penyampaian Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) dan Laporan Transaksi Keuangan yang dilakukan secara Tunai (LTKT) kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Kewajiban penerapan Prinsip Mengenal Nasabah tersebut selanjutnya diperkuat oleh Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 (UU TPPU).

Melalui penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang efektif, Penyedia Jasa Keuangan (PJK) memiliki peranan sangat besar dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang baik dari aspek pencegahan (preventif) maupun penghukuman (repressive). Keberhasilan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dan pemenuhan kewajiban penyampaian LTKM dan LTKT oleh PJK kepada PPATK pada dasarnya merupakan penentu awal dari keberhasilan penanganan tindak pidana pencucian uang, karena berdasarkan penyampaian LTKM dan LTKT tersebut suatu dugaan tindak pidana pencucian uang dapat dilakukan dan seterusnya ditindaklanjuti dengan penyelidikan dan penyidikan oleh pihak penegak hukum.

Dalam UU TPPU diatur pula kewajiban PJK untuk mengetahui betul dan dengan benar siapa nasabahnya, sebagaimana yang diatur didalam . Pasal 17 UU TPPU menentukan :
1. Setiap orang yang melakukan hubungan usaha dengan Penyedia Jasa Keuangan wajib memberikan identitasnya secara lengkap dan akurat dengan mengisi formulir yang disediakan oleh Penyedia Jasa Keuangan dan melampirkan dokumen yang diperlukan;
2. Penyedia Jasa Keuangan wajib memastikan pengguna jasa keuangan bertindak untuk diri sendiri atau orang lain;
3. Dalam hal pengguna jasa keuangan bertindak untuk orang lain, Penyedia Jasa Keuangan wajib meminta informasi mengenai identitas dan dokumen pendukung dari pihak lain tersebut;
4. Bagi Penyedia Jasa Keuangan yang berbentuk bank, identitas dan dokumen pendukung yang diminta dari pengguna jasa keuangan harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
5. Penyedia Jasa Keuangan wajib menyimpan catatan dan dokumen mengenai identitas pengguna jasa keuangan sampai dengan 5 (lima) tahun sejak berakhirnya hubungan usaha dengan pengguna jasa keuangan tersebut.

Secara teori akan sulit bagi pelaku kejahatan untuk dapat melarikan uang hasil kejahatannya keluar negeri, karena hampir seluruh negara telah menerapkan sistem anti pencucian uang sesuai dengan rekomondasi yang dikeluarkan oleh Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF). Sekalipun faktanya bicara lain.



Natsir Kongah,
Pengamat, Penulis dan Pembicara masalah-masalah tindak pidana pencucian uang. Mantan wartawan ini juga sebagai praktisi Public Relations dan dosen ilmu komunikasi.

BUPATI, ILLEGAL LOGGING DAN PENCUCIAN UANG

M. Natsir Kongah



Sepuluh bupati yang terindikasi terlibat praktik pembalakan liar (illegal logging) akan diperiksa. Departemen Kehutanan tengah berkoordinasi dengan Mabes Polri untuk melakukan proses hukum, sementara ijin untuk pemeriksaan para bupati tersebut sudah diajukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Media Massa menulis pemberitaan ini, Sabtu, 22 Oktober 2005). Meski sudah sebulan lebih, kelanjutan hasil dari koordinasi yang dilakukan itu sampai tulisan ini dimuat belum ada khabar akan proses selanjutnya.

Apa yang dilakukan oleh para petinggi ditingkat dua ini, dapat diindikasikan telah melakukan kejahatan ganda : kejahatan utama ( core crime ) adalah illegal logging dan kejahatan lanjutan ( follow up crime) manakala ia melakukan pencucian uang . Sejatinya, untuk membuktikan kejahatan utama dari para pelaku illegal logging , aparat penegak hukum akan lebih mudah mendapatkan titik terang bila melakukan pendekatan dengan Undang-undang No.15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003 ( UU TPPU). Pasal 2 ayat (1) UU TPPU menyebutkan hasil tindak pidana pencucian uang adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana, antara lain : (a) korupsi; (b) penyuapan; (v) di bidang kehutanan; (w) di bidang lingkungan hidup.

Sebagaimana diketahui pencucian uang adalah : perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. (Pasal 1 ayat (1) UU TPPU).

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai lembaga sentral (focal point ) didalam upaya mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian dapat membantu aparat penegak hukum dengan cara mentrasir/melacak transaksi yang dilakukan oleh pelaku kejahatan pada sistem keuangan. Biasanya para pelanggar hukum yang mendapatkan uang atau kekayaan yang di peroleh secara tidak sah/legal berupaya menjadikannnya seolah-olah berasal dari sumber yang sah/legal. Pola yang dilakukan didalam proses engineering keuangan ini seringkali rumit dan kompleks, sehingga sulit untuk dideteksi. Namun, secara sederhana kegiatan ini pada dasarnya dapat dikelompokkan pada tiga kegiatan, yakni: placement, layering dan integration. ( Money Laundering : a Banker;s Guide To Avoiding Problems, (occ.treas.gov/launder/org.htm).

Placement merupakan upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktifitas kejahatan. Dalam hal ini terdapat pergerakan phisik dari uang tunai, baik melalui penyeludupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan melakukan penempatan uang giral ke dalam sistem perbankan, misalnya deposito, saham-saham atau juga mengkonversikan kedalam mata uang lainnya atau transfer uang kedalam valuta asing.

Layering , sebuah aktifitas memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ketempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan/mengelabui sumber dana “haram” tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin ke rekening-rekening perusahaan-perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.

Integration, yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai suatu ' legitimate explanation' bagi hasil kejahatan. Disini uang yang di ‘cuci' melalui placement maupun layering dialihkan kedalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktifitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang di cuci. Pada tahap ini uang yang telah dicuci dimasukkan kembali kedalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum.


Hubungan illegal logging dan pencucian uang

Lantas, bagaimana menjerat para bupati tersebut dengan UU TPPU ? Agar lebih memudahkan mendapatkan gambaran hubungan antara tindak pidana illegal logging dengan tindak pidana pencucian uang dapat dilihat dari contoh simulasi sebagai berikut : PT. Rimba Kapuas Sejati (PT.RKS)) pemilik areal HPH di wilayah Kalimantan. Pada tahun 2004 PT RKS mendapat kredit dari Bank X sebesar USD 1.000.000. Dari formulir permohonan kredit yang disampaikan oleh PT. RKS di Bank X, omzet penjualan hasil Hutan Tanaman Industri yang dikelolanya sebesar USD 1.000.0000/ tahun. Dari catatan mutasi rekening Giro PT. RKS di Bank X diketahui bahwa selama tahun 2005, PT. RKS melakukan transaksi ekspor sebanyak 20 kali dengan nilai transaksi ekspor rata-rata sebesar USD 100.000. Seluruh dana yang diperoleh dari hasil ekspor dimasukkan dalam rekening giro PT. RKS di Bank X.

Sekitar 80 % dana dari hasil ekspor yang masuk ke rekening Giro PT. RKS selalu ditransfer kembali ke beberapa rekening perusahaan yang berada di Cina dan Malaysia. Perusahaan-perusahaan yang menerima dana transfer dari PT. RKS umumnya bergerak di bidang usaha yang tidak ada hubungannya dengan usaha perkayuan, seperti usaha properti, restaurant, perusahaan garment dan lain-lain.

Catatan rekening giro PT. RKS menunjukkan pula adanya pengiriman dana ke beberapa rekening atas nama Tito Hartono alias Bun Ciou (TH), yang disebut-sebut oleh media massa sebagai cukong kayu kelas kakap, kini buronan Mabes Polri. Ia telah diindikasikan terkait atas penjarahan hutan lindung di wilayah Kalimantan Begitu juga dengan Asiong (AS), ia mendapatkan aliran dana – sementara dirinya sedang dicari polisi karena diindikasikan telah melakukan illegal logging . Kemudian ada pula pengiriman dana kepada Eriko SL (ESL) mantan Bupati yang mengeluarkan izin Hak Pengusahaan Hutan kepada PT. RKS.

Pola transaksi dan alirana dana sebagaimana di gambarkan di atas terdeteksi melalui mekanisme kewajiban pelaporan oleh bank. Bank sebagaimana halnya dengan penyedia jasa keuangan lainnya juga di wajibkan untuk melaporkan transaksi mencurigakan yaitu transaksi sebagaimana diatur UU TPPU Pasal 1 Ayat (7) disebutkan Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah :
a. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan;
b. transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini; atau
c. transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
Tansaksi keuangan PT. RKS mencurigakan, karena transaksi diluar profil usaha yang tercatat di Bank X. Bank X menyampaikan pula LTKM atas nama TH, AS dan ESL kepada PPATK dengan pertimbangan nama-nama tersebut diberitakan oleh media massa sebagai cukong illegal logging dan pihak pemberi ijin yang tidak sesuai dengan peruntukannya.

Analsis terhadap laporan LTKM menunjukkan indikasi tindak pidana pencucian uang yang diketahui dari transaksi yang dilakukan ke perusahaan yang ada di Cina dan Malaysia, dimana 80 persen dari hasil penjualan kayu yang dilakukan tersebut ditransfer kembali ke pada perusahaan-perusahaan yang umumnya bergerak di bidang usaha yang tidak ada hubungannya dengan usaha perkayuan. Pola transaksi ini dikenal dengan layering - dan telah melanggar UU TPPU Pasal 1 ayat (1) : perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan Hasil Tindak Pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah.

Transfer dana dari PT. RKS kepada TH, AS memiliki indikasi kuat telah melanggar UU TPPU Pasal 2 : hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana ayat (1) huruf (v) dibidang kehutanan dan (w) lingkungan hidup. Sementara transfer dana dari PT. RKS kepada ESL diindikasikan telah melakukan penyuapan yang melanggar Pasal 2 ayat (1) huruf (b) penyuapan. Sedangkan ESL dapat dikenakan tuduhan sebagai pihak yang telah melakukan korupsi. Indikasinya telah melanggar Pasal 2 ayat (1) huruf (a) korupsi.

Polri atas dasar informasi tersebut dapat lebih mudah melakukan penyidikan, selanjutnya disampaikan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk dilimpahkan ke pengadilan. Tampaknya mudah, dan UU TPPU ini cukup efektif bila berjalan. Tapi apakah begitu dilapangan ? mari kita lihat bersama.


* Penulis pembelajar masalah-masalah tindak pidana pencucian uang, tinggal di Tangerang.
Dimuat oleh Koran Tempo, Sabtu 17 Desember 2005

YAYASAN, SOEKARNO DAN PENCUCIAN UANG

M. Natsir Kongah
Sindrome kemiskinan. Agaknya itulah yang sedang melilit kita, utamanya didaerah-daerah yang secara finansial lemah. Mudah tergiur dengar iming-iming, rencana-rencana besar tanpa dasar yang jelas. Beberapa bupati di Nusa Tenggara Timur diberitakan telah menandatangani nota kesepahaman dengan perusahaan, yang mewakili keberadaan yayasan yang menyebutkan dirinya sebagai yayasan internasional pemegang saham mayoritas pada 25 perbankan besar didunia (salah satu anggota dari yayasan ini disebut-sebut Ir. Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia).

Tak tanggung-tanggung dana yang dijanjikan untuk dikucurkanya sebagai program dana pendamping bagi pemda diwilayah itu – sebanyak Rp. 27 triliun. Sebuah angka yang cukup fantastis. Uang itu, bila benar adanya tentu akan membebaskan NTT dari daerah rawan pangan dan seketika akan dapat menstimulasi perekonomian yang selanjutnya akan meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat kebanyakan. Tapi, apakah semudah itu dana mengalir? Lalu, apa yang menjadi nilai tambah yang diperoleh perusahaan yang menyalurkan dana pendamping itu? Jangan-jangan, bila penyaluran dana itu tidak bermaksud menipu, tapi ada unsur pencucian uang didalamnya ?

Sedikitnya fakta yang ada, membuat kita sulit mencari kejelasan dari sepak terjang yayasan “bertaraf internasional” ini. Tapi, setidaknya tabir itu sedikit dapat dikubak lewat pendekatan Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaiman diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003 (UU TPPU). Juga kejelasan itu dapat dilihat dari tipologi/modus operandi yang sering dilakukan oleh para launder didalam melakukan pencucian uang lewat yayasan atau organisasi nirlaba.

Dari investigasi yang dilakukan, sebagaimana tergambar didalam laporan tahunan tahun 2003 – 2004 yang dikeluarkan oleh Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) berkaitan dengan typologi tindak pidana pencucian uang dan pembiayaan terorisme terlihat bahwa setidaknya ada 215 organisasi nirlaba terindikasi telah melakukan tindak pidana pencucian uang. Sinyalemen ini tergambar dari laporan transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikan oleh perbankan kepada financial intelligent units (FIUs) – semacam Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang ada diberbagai negara. Arus kas dari yayasan yang ada ini cukup besar, tapi tidak didukung oleh underlying transaction yang memadai. Dalam periode tiga tahun, menurut laporan itu ada sebanyak 35 organisasi nirlaba telah mengirimkan uang sebanyak US$ 160 juta kebeberapa perkumpulan imigran lewat perusahaan jasa pengiriman uang yang kemudian digunakan untuk membiayai gerakan teroris.

Selain itu ada pula tipologi, dimana modus operandinya menggunakan nama besar seperti Ir. Soekarno (Presiden Pertama RI). Pendekatan yang dilakukan oleh para mafioso Italia yang bekerjasama dengan pelaku kejahatan di Indonesia ini adalah dengan menjual nama besar Bung Karno. Isinya : Ir. Soekarno, Presiden Republik Indonesia memberikan kuasa penuh kepada seseorang warga Indonesia keturunan untuk mengelola asset dana revolusi berupa puluhan ton emas murni dan ratusan juta dolar AS yang disimpan pada sebuah bank di Swiss. Surat berbahasa Indonesia lengkap dengan stempel kepresidenan itu – lalu dibuat seolah-olah valid dengan pengalihan ke bahasa Inggris oleh kantor penterjamah yang telah diangkat sumpahnya dan disahkan oleh notaris yang kesemuanya berkedudukan di Indonesia.

Sekilas, surat – surat yang disertai dokumen pendukung itu sah adanya. Tapi bila sedikit seksama melihatnya, banyak ditemukan kejanggalan. Salahsatunya, kop surat Presiden RI yang resmi adalah berlogokan bintang yang dilingkari oleh padi dan kapas saja. Tapi dalam surat kuasa palsu itu, selain ada lambang bintang, padi dan kapas adapula lambang burung garuda yang berada disisi kiri sebelah atas. Kejanggalan lainnya juga terlihat pada tandatangan Bung Karno yang begitu kaku, lebih jelas lagi bahwa tindakan ini adalah penipuan - ketika diperiksa bank di Swiss sebagaimana disebutkan didalam surat tersebut, emas dan ratusan juta dolar itu tidak pernah ada.

Lalu, bagaimana UU TPPU dapat menyibak persoalan yang ada ? dari ilustrasi ini dapat tergambar. Pertama, bila Yayasan X mentransfer sejumlah dana kepada Perusahaan Y tanpa underlying transaction yang jelas, bank sebagaimana penyedia jasa keuangan lainnya di wajibkan untuk melaporkan transaksi keuangan mencurigakan yaitu transaksi sebagaimana diatur UU TPPU. Pasal 1 Ayat (7) UU TPPU menyebutkan Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah :
a. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaanpola transaksi dari nasabah yang bersangkutan;
b. Transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang- undang ini; atau
c. Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

Kedua , transaksi keuangan Yayasan X kepada Perusahaan Y mencurigakan, karena sebutlah dana yang ditransfer kepada Perusahaan X tidak sesuai profile yang tercatat pada bank. Biasanya perusahaan yang bergerak dibidang jasa bangunan ini hanya memilki mutasi rekening puluhan juta rupiah, tapi dalam waktu seketika menerima aliran dana sebanyak triliunan rupiah. Atas dasar itu, Bank Z tempat dimana Perusahaan Y membuka rekening lalu melaporkan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) kepada PPATK dengan pertimbangan transaksi yang ada diluar dari kelaziman Perusahaan Y. Lalu PPATK melakukan analisis, dan dari berbagai informasi yang diperoleh lembaga yang menjadi focal point didalam menangani pencegahan dan pemberantasan tindak pencucian uang di Indonesia ini - menemukan indikasi telah melakukan tindak pencucian uang, karena berdasarkan informasi yang diperoleh dari financial intelligent unit dimana Yayasan X berada - tidak terdaftar dan nama pengirim yang mengirimkan uang kepada Perusahaan Y sedang dicari aparat kepolisian negaranya karena didakwa merupakan bagian dari gembong perdagangan narkotika.


Pola Pencucian Uang

Biasanya para pelanggar hukum yang mendapatkan uang atau kekayaan yang di peroleh secara tidak sah/legal berupaya menjadikannnya seolah-olah berasal dari sumber yang sah/legal. Pola yang dilakukan didalam proses engineering keuangan ini seringkali rumit dan kompleks, sehingga sulit untuk dideteksi. Namun, secara sederhana kegiatan ini pada dasarnya dapat dikelompokkan pada tiga kegiatan, yakni: placement, layering dan integration (Lihat: Money Laundering : a Banker;s Guide To Avoiding Problems, (www. occ.treas.gov/launder/org.htm, didownload April 2003).

Placement merupakan upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktifitas kejahatan. Dalam hal ini terdapat pergerakan phisik dari uang tunai, baik melalui penyeludupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan melakukan penempatan uang giral ke dalam sistem perbankan, misalnya deposito, saham-saham atau juga mengkonversikan kedalam mata uang lainnya atau transfer uang kedalam valuta asing.

Layering, sebuah aktifitas memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ketempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan/mengelabui sumber dana “haram” tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin ke rekening-rekening perusahaan-perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.

Integration, yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai suatu 'legitimate explanation' bagi hasil kejahatan. Disini uang yang di ‘cuci' melalui placement maupun layering dialihkan kedalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktifitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang di cuci. Pada tahap ini uang yang telah dicuci dimasukkan kembali kedalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum.

Pola transaksi yang dilakukan oleh Yayasan X ini dikenal dengan layering, untuk itu ia dapat dikategorikan telah melanggar UU TPPU Pasal 3 Pasal (1) yang menyebutkan setiap orang dengan sengaja :
1. menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana kedalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;
2. mentransfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;
3. membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
4. menghibahkan atau menyumbangkan harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
5. menitipkan Harta Kekayaan yang di ketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tinda pidana; atau
6. menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang di ketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).

Transfer dana dari Yayasan X kepada Perusahaan Y yang diduga berasal dari perdagangan narkotika merupakan harta kekayaan yang tidak sah sebagaimana diatur didalam Pasal 2 UU TPPU : hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana ayat (1) huruf (i) narkotika. Selanjutnya, hasil analisis yang dilakukan oleh PPATK disampaikan kepada Polri untuk dilakukan langkah selanjutnya yakni penyidikan, kemudian hasil penyidikan yang dilakukan Polri disampaikan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk dilimpahkan ke Pengadilan.

Kini, trend penipuan yang dikenal dengan Skema Nigerian lewat menang lotre dan sebagainya itu, kini tampaknya mulai beralih dengan menggunakan organisasi nirlaba. Mudah-mudahan yayasan yang akan memberikan dana pendamping kepada kabupaten yang berada di NTT tidak seperti yang digambarkan. Toh kalaupun ia, tak perlu terlalu berkecil hati. Sindrome kemiskinan itu tidak hanya melanda negeri ini, sindrome yang sama juga melanda sebahagian kecil masyarakat Italia yang nota bene negara maju. **


*)Penulis pembelajar masalah-masalah tindak pidana pencucian uang, tinggal di Tangerang.
Dimuat oleh Majalah BUMN WATCH Edisi Januari 2006

Gubernur BoI dan Pencucian Uang

M. Natsir Kongah


Ternyata Mario Puzo benar. Gurita mafioso begitu berakar, dari mulai petinggi negeri, artis, serta anak jalanan terlibat dalam tindak pidana. Itu digambarkan dalam novel dan trilogi film legandarisnya “The Godfather”. Cerita itu terngiang kembali manakala melihat latar belakang mundurnya Antonio Fazio, Gubernur Bank of Italy (BoI) pada Senin pekan lalu. Skandal yang terjadi bak cerita dalam sebuah novel : antara uang, kepentingan politik dan cinta.

Bermula dari rencana Dutch bank ABN Amro Holding NV, yang akan mengambil alih 40% saham Bank Italia Antonveneta. Dalam sebuah versi, Antonio Fazio bertahan untuk tidak melepas saham bank ini kepada ABN Amro karena alasan nasionalisme. Sebagai penyeimbang, masuk Banca Popolare Italiana untuk mengambil saham yang sama. Tak dinyana, hal inilah yang menjadi sebuah kemelut berkepanjangan yang menyita halaman depan koran-koran di Italia selama berminggu-minggu. Pertarungan kedua kubu ini menjalar dari mulai lantai bursa, gedung pengadilan sampai ke panggung politik.

Pertarungan sedikit mereda dengan turunnya Pengadilan kota Milano. Dari hasil penyidikan yang dilakukan aparat penegak hukum negeri itu, akhirnya hakim memutuskan untuk menyita semua saham Antonveneta termasuk keuntungan yang diperoleh oleh Banca Popolare Italiana dari pasar bursa. Banca Popolare Italiana dituduh telah melakukan penipuan terhadap bursa efek, memalsukan surat-surat dan tindak pidana pencucian uang ( money laundering) . Gianpiero Fiorani, direktur Banca Popolare Italiana diskors dari jabatannya selama dua bulan, untuk mencegah agar ia tak menghilangkan barang bukti.

Majelis hakim yang memeriksa kasus itu, mengatakan bahwa hakim menemukan cukup bukti bahwa Fiorani, dengan bantuan teman-temannya dan sejumlah rekening bank di Swiss serta beberapa perusahaan semu yang berada di Kepulauan Caymand - dalam waktu berbulan-bulan telah membeli saham Antonveneta, sedikit demi sedikit secara rahasia (sebagaimana yang diberitakan oleh Radio Naderland).

Disebutkan pula bahwa hakim menilai usaha pengambilalihan Antonveneta oleh Fiorani dan kawan-kawan, merupakan sebuah tindakan melawan hukum yang didukung dan ikut sertanya sejumlah pejabat tinggi pemerintah, yaitu Antonio Fazio dan sejumlah pegawai dekatnya. Pelanggaran itu terekam lewat sejumlah pembicaraan Fiorani, rekan bisnisnya dan Gubernur Bank Sentral Italia Antonio Fazio bersama istrinya Maria Cristina Rosati Fazio.

Dari sebahagian hasil sadapan itu tergambar bahwa Fiorani berpacaran dengan salah seorang anak Antonio Fazio. Dari sini terjalin hubungan yang dekat antara Fiorani dengan sang gubernur dan istrinya. Cristina Fazio menyebutkan akan membantu usaha pengambil-alihan Antonveneta, dan juga ada pembicaraan bahwa Fiorani tidak usah khawatir, karena Antonio akan mengatur semuanya untuk dia.

Skandal ini menurut Domenico Sinisalco, Menteri Ekonomi dan Keuangan Italia dalam pidatonya di depan kabinet menyebutkan bahwa tindak-tanduk gubernur bank sentral telah merusak citra Italia dan berdampak negatif bagi utang negara. Karena merosotnya kepercayaan akan mengakibatkan tingginya tingkat suku bunga. Selain itu, problem ini mengakibatkan pula miringnya tanggapan terhadap keberadaan bank sentral Italia dimata internasional karena dinilai tidak fair.

Eskalasi dari kasus ini kemudian menuntut agar sang gubernur turun dari singgasananya. Tapi, Antonio Fazio tak bergeming. Silvio Berlusconi, Perdana Menteri Italia sendiripun rada ragu mengambil sikap terhadap rekan separtainya. Kondisi ini membuat menteri Ekonomi dan Keuangan Italia tak nyaman yang akhirnya mengundurkan diri. Berlusconi sendiri berdalih bahwa pemerintah tidak berhak memecat presiden Bank Sentral karena diangkat seumur hidup.

Giulio Tremonti, Menteri Ekonomi dan Keuangan yang baru bertindak lebih jauh dari atasannya sendiri. Lewat kewenangan yang dimiliki, ia memanggil pulang Gubernur Bank Sentral yang sedang mengikuti rapat dengan IMF di Washington. Kredo, Giulio agar Antonio Fazio mau mengundurkan diri - sederhana. Bila ia tak mau mundur secara sukarela maka kami akan mengasapinya sampai ke luar dari tempat persembunyian. Ternyata ia benar, tak lama Antonio Fazio pun mengundurkan diri. Terlebih setelah ada dugaan bahwa Fazio yang juga ketua The Ufficio Italiano dei Cambi (UIC) ( semacam Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan – PPATK di Indonesia) ini juga telah melakukan insider trading dan penyalahgunaan kekuasaan didalam proses pengambil alihan saham Antonveneta yang dilakukan oleh Banca Popolare Italiana. Namun Antonio, yang telah menapaki kariernya dibank sentral itu sejak berusia 24 tahun membantah bahwa ia telah berbuat salah. Berlosconi sendiripun mengatakan bahwa ia tak mau menghakimi Fazio yang dipujinya sebagai seorang yang jujur dan bertanggung jawab.

Skandal ini bila dibandingan dengan Undang-undang Anti Pencucian Uang ( money laundering ) di Indonesia

Insider trading, penyalahgunaan kekuasaan didalam proses pengambil alihan saham yang dilakukan, bila ditilik dari Undang-undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan Undang-undang No.25 Tahun 2003 (UU TPPU) dapat diindikasikan telah melakukan kejahatan ganda : kejahatan utama ( core crime ) adalah Insider Trading dan penyalahgunaan kekuasaan didalam proses pengambil alihan saham dan kejahatan lanjutan ( follow up crime) manakala ia melakukan pencucian uang . Pasal 2 ayat (1) UU TPPU menyebutkan hasil tindak pidana pencucian uang adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana, antara lain: (f) di bidang perbankan, (g) di bidang pasar modal.

Diketahui bahwa pencucian uang adalah: perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. (Pasal 1 ayat (1) UU TPPU).

Kini, sang mantan Gubernur BoI yang sudah menduduki kursi empuknya sejak 12 tahun lalu itu sedang menunggu putusan hakim apakah terbukti telah melakukan insider trading , penyalahgunaan kekuasaan, atau bahkan tindak pidana pencucian uang (money laundering ) sebagaimana yang dituduhkan kepada pacar anaknya. Kita tunggu perkembangan berikutnya.**
*) Penulis pembelajar
masalah tindak pidana
pencucian uang