Kamis, 28 Juni 2012

BAU AMIS PEMILIHAN KOMISIONER OJK


BAU AMIS PEMILIHAN KOMISIONER OJK
Oleh : Natsir Kongah*

Saya memaklumi kekecewaan besar yang dirasakan oleh industri perbankan terhadap keterpilihannya dewan komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang ada. Selain tidak adanya perwakilan industri perbankan sebagai pemilik komposisi terbesar dari Rp. 7.700 triliuan asset bank dan non bank yang ada, pula proses pemilihan di tingkat politik itu merebak bau amis. Tak heran kalau Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional, Sigit Pramono menyayangkan dan akan mempertimbangkan untuk menempuh jalur hukum tertentu (Kompas, 21 Juni 2012).

Selasa, 19 Juni 2012 malam Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melalui Komisi XI DPR RI menentukan hasil uji kepatutan dan kelayakan 14 nama calon Dewan Komisioner OJK. Tujuh dari 14 nama yang ada ditetapkan sebagai Komisioner OJK secara defenitif dengan ketua Muliaman Hadad, anggota Nurhaida (54 suara), Firdaus Djaelani (53 suara), Kusumaningtuti S Soetiono (53 suara), Ilya Avianti (50 suara), Nelson Tampubolon (44 suara), dan Rahmat Waluyanto (40 suara). Keputusan yang ada ini selain menimbulkan pro dan kontra juga melahirkan berbagai isu-isu tak sedap.

Dikalangan perbankan, pasar modal dan asuransi bisik-bisik yang beredar menyebutkan bahwa sebahagian dari komisoner yang terpilih, dipilih secara tidak wajar dan fair. Isu yang ada dibumbui pula oleh banyaknya uang dolar yang beredar untuk menggoalkan seseorang untuk dapat terpilih menjadi Dewan Komisioner OJK. Pertanyaan lain yang kerap muncul, bagaimana anggota dewan dapat memilih secara baik dan benar – bila proses uji kepatutan dan kelayakan yang hadir “hanya” 5 – 20 anggota dewan, sementara ketika voting dilakukan seseorang bisa mendapatkan 54 suara atau 44 suara dari  56 jumlah anggota dewan yang memilih?

Belajar dari Skandal Suap Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia

Belum lepas ingatan kita dan belum pula usai proses penegakan hukum kasus suap pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia. Skandal ini bermula di bulan Mei 2004,  Komisi IX DPR RI  menerima tugas dari Pimpinan DPR RI untuk melaksanakan fit and proper test dalam rangka pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia sebagaimana diusulkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Ada tiga calon yang diajukan ketika itu : Miranda Goeltom, Hartadi A.Sarwono, dan Budi Rochadi.

Dari jalannya persidangan tindak pidana korupsi terkait kasus ini,  tergambar bahwa untuk memuluskan jalan Miranda Swaray Goeltom menjadi Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, ada “sponsor” yang turun gunung menyediakan 480 cek pelawat dengan masing-masing senilai Rp. 500.000.000,- dengan total Rp. 24 milyar. Miranda memperoleh suara sebanyak 41 dari 54 orang anggota Komisi IX DPR RI.
Entah bagaimana cek itu sampai ke tangan Nunun Nurbaetie, yang telah divonis bersalah membantu menyerahkan cek pelawat. Dalam sidang, sejumlah saksi dan terdakwa menerangkan bahwa cek mengalir melalui Arie Malangjudo,  Direktur Utama PT Wahana Esa Sejati. Arie mendapat perintah dari Nunun Nurbaetie, Komisaris PT Wahana sehari sebelum uji kepatutan dan kelayakan dilakukan.

Kemudian Nunun meminta politikus Partai Golkar, Hamka Yandhu, untuk mengatur pembagian 480 lembar cek suap tersebut. Hamka menyatakan pembagian sudah diatur dengan cara memberikan kode warna merah, kuning, hijau, dan putih pada kantong kertas tempat cek pelawat. Dalam persidangan terungkap pula, bahwa cek pelawat yang dikeluarkan oleh  BII itu diadakan oleh Bank Artha Graha berdasarkan permintaan dari PT First Mujur Plantation. Bekas Direktur Keuangan First Mujur, Budi Santoso alias Awen, mengatakan cek dibeli atas permintaan Suhardi Suparman alias Ferry Yen untuk membayar lahan sawit seluas 5.000 hektare di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara yang dibeli oleh Teddy Uban. Ferry tak bisa bersaksi karena wafat pada 7 Januari 2007. Hakim Sudjatmiko, yang mengadili Nunun, menilai Ferry adalah tokoh fiktif yang diciptakan untuk menutupi alur kasus ini.

Pembatasan Transaksi Tunai

Sudah saatnya Pemerintah Indonesia mengatur untuk melakukan pembatasan transaksi tunai ditengah masyarakat. Hal ini dilakukan guna menghindari atau pun menurunkan angka kejahatan penyuapan, korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang kian waktu kian hari terus membengkak. Menurut data statistik yang dikeluarkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) trend korupsi dan penyuapan mengalami kenaikan secara signifikan. Sampai dengan bulan Mei 2012 hasil analisis yang disampaikan oleh PPATK kepada penyidik sebanyak 877 kasus korupsi dan 75 kasus penyuapan yang modusnya antara lain menggunakan uang tunai dalam bentuk rupiah, uang tunai dalam bentuk mata uang asing dan cek perjalanan.
Contoh penggunaan uang tunai untuk penyuapan dapat dilihat dari kasus yang paling gress dengan tertangkap tangannya oknum petugas pajak Tomy Hendratno, Kasi pelayanan dan konsultasi di Kantor Pealayanan Pajak (KPP) Sidoarjo. Tomy tertangkap setelah kedapatan menerima uang senilai Rp 285 juta yang diduga dari James Gunarjo, seorang pengusaha. Sebelumnya, Dharnawati, Kuasa Direksi PT Alam Jaya Papua  yang diciduk petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah mengantarkan duit Rp 1,5 miliar yang dibungkus kardus durian. KPK juga menangkap tangan I Nyoman Suisnaya. dan Dadong Irbarelawan beserta kardus durian di kantor Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Duit itu adalah bentuk ucapan terima kasih PT Alam Jaya karena terpilih sebagai kontraktor Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID),  di empat kabupaten Papua, yakni Keerom, Teluk Wondama, Manokwari, dan Mimika, senilai Rp 73 miliar.
Pemerintah perlu pula mengatur peredaran mata uang asing di Indonesia, khususnya mata uang yang nilainya kuat seperti dolar Amerika dan dolar Singapura. Mata uang ini kerap kali dipakai sebagai transaksi korupsi dan penyuapan baik dilingkungan eksekutif, legislatif maupun judikatif.
Ketika saya satu mobil dengan rekan anggota dewan yang terhormat, ia kelihatan begitu sulit mendapatkan uang rupiah dari kantongnya untuk membayar parkir. Saat membuka dompet yang agak panjang dari saku celana belakangnya semua berisi dolar Amerika dan Singapura. Ketika merogoh dari saku depan kiri dan kanan yang keluar  uang dalam bentuk dolar juga. Terpaksa saya mengeluarkan uang rupiah pecahan Rp. 20.000, padahal stok uang tinggal itu untuk membeli tiket kereta api dari Stasiun Palmerah ke Stasiun Sudimara, Tengerang Selatan.  

Penutup

Beredarnya isu banyaknya uang dolar yang beredar di lingkungan DPR  terkait pemilihan Dewan Komisioner OJK perlu segera ditindaklanjuti agar tidak liar dan merebak kemana-mana. Sebab bila tidak,  saling curiga mencurigai akan terus menyerap energi yang ada, dan   kita akan terus tersandera pada hal-hal yang bukan substantive. Lebih dari itu, bila rumours ini terus berkembang akan menggerus tingkat kepercayaan masyarakat dan industri kepada OJK. Padahal, kepercayaan adalah modal utama Otoritas Jasa Keuangan.

*Pembelajar masalah-masalah tindak pidana pencucian uang.