Selasa, 30 Oktober 2007

YAYASAN, SOEKARNO DAN PENCUCIAN UANG

M. Natsir Kongah
Sindrome kemiskinan. Agaknya itulah yang sedang melilit kita, utamanya didaerah-daerah yang secara finansial lemah. Mudah tergiur dengar iming-iming, rencana-rencana besar tanpa dasar yang jelas. Beberapa bupati di Nusa Tenggara Timur diberitakan telah menandatangani nota kesepahaman dengan perusahaan, yang mewakili keberadaan yayasan yang menyebutkan dirinya sebagai yayasan internasional pemegang saham mayoritas pada 25 perbankan besar didunia (salah satu anggota dari yayasan ini disebut-sebut Ir. Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia).

Tak tanggung-tanggung dana yang dijanjikan untuk dikucurkanya sebagai program dana pendamping bagi pemda diwilayah itu – sebanyak Rp. 27 triliun. Sebuah angka yang cukup fantastis. Uang itu, bila benar adanya tentu akan membebaskan NTT dari daerah rawan pangan dan seketika akan dapat menstimulasi perekonomian yang selanjutnya akan meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat kebanyakan. Tapi, apakah semudah itu dana mengalir? Lalu, apa yang menjadi nilai tambah yang diperoleh perusahaan yang menyalurkan dana pendamping itu? Jangan-jangan, bila penyaluran dana itu tidak bermaksud menipu, tapi ada unsur pencucian uang didalamnya ?

Sedikitnya fakta yang ada, membuat kita sulit mencari kejelasan dari sepak terjang yayasan “bertaraf internasional” ini. Tapi, setidaknya tabir itu sedikit dapat dikubak lewat pendekatan Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaiman diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003 (UU TPPU). Juga kejelasan itu dapat dilihat dari tipologi/modus operandi yang sering dilakukan oleh para launder didalam melakukan pencucian uang lewat yayasan atau organisasi nirlaba.

Dari investigasi yang dilakukan, sebagaimana tergambar didalam laporan tahunan tahun 2003 – 2004 yang dikeluarkan oleh Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) berkaitan dengan typologi tindak pidana pencucian uang dan pembiayaan terorisme terlihat bahwa setidaknya ada 215 organisasi nirlaba terindikasi telah melakukan tindak pidana pencucian uang. Sinyalemen ini tergambar dari laporan transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikan oleh perbankan kepada financial intelligent units (FIUs) – semacam Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang ada diberbagai negara. Arus kas dari yayasan yang ada ini cukup besar, tapi tidak didukung oleh underlying transaction yang memadai. Dalam periode tiga tahun, menurut laporan itu ada sebanyak 35 organisasi nirlaba telah mengirimkan uang sebanyak US$ 160 juta kebeberapa perkumpulan imigran lewat perusahaan jasa pengiriman uang yang kemudian digunakan untuk membiayai gerakan teroris.

Selain itu ada pula tipologi, dimana modus operandinya menggunakan nama besar seperti Ir. Soekarno (Presiden Pertama RI). Pendekatan yang dilakukan oleh para mafioso Italia yang bekerjasama dengan pelaku kejahatan di Indonesia ini adalah dengan menjual nama besar Bung Karno. Isinya : Ir. Soekarno, Presiden Republik Indonesia memberikan kuasa penuh kepada seseorang warga Indonesia keturunan untuk mengelola asset dana revolusi berupa puluhan ton emas murni dan ratusan juta dolar AS yang disimpan pada sebuah bank di Swiss. Surat berbahasa Indonesia lengkap dengan stempel kepresidenan itu – lalu dibuat seolah-olah valid dengan pengalihan ke bahasa Inggris oleh kantor penterjamah yang telah diangkat sumpahnya dan disahkan oleh notaris yang kesemuanya berkedudukan di Indonesia.

Sekilas, surat – surat yang disertai dokumen pendukung itu sah adanya. Tapi bila sedikit seksama melihatnya, banyak ditemukan kejanggalan. Salahsatunya, kop surat Presiden RI yang resmi adalah berlogokan bintang yang dilingkari oleh padi dan kapas saja. Tapi dalam surat kuasa palsu itu, selain ada lambang bintang, padi dan kapas adapula lambang burung garuda yang berada disisi kiri sebelah atas. Kejanggalan lainnya juga terlihat pada tandatangan Bung Karno yang begitu kaku, lebih jelas lagi bahwa tindakan ini adalah penipuan - ketika diperiksa bank di Swiss sebagaimana disebutkan didalam surat tersebut, emas dan ratusan juta dolar itu tidak pernah ada.

Lalu, bagaimana UU TPPU dapat menyibak persoalan yang ada ? dari ilustrasi ini dapat tergambar. Pertama, bila Yayasan X mentransfer sejumlah dana kepada Perusahaan Y tanpa underlying transaction yang jelas, bank sebagaimana penyedia jasa keuangan lainnya di wajibkan untuk melaporkan transaksi keuangan mencurigakan yaitu transaksi sebagaimana diatur UU TPPU. Pasal 1 Ayat (7) UU TPPU menyebutkan Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah :
a. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaanpola transaksi dari nasabah yang bersangkutan;
b. Transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang- undang ini; atau
c. Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

Kedua , transaksi keuangan Yayasan X kepada Perusahaan Y mencurigakan, karena sebutlah dana yang ditransfer kepada Perusahaan X tidak sesuai profile yang tercatat pada bank. Biasanya perusahaan yang bergerak dibidang jasa bangunan ini hanya memilki mutasi rekening puluhan juta rupiah, tapi dalam waktu seketika menerima aliran dana sebanyak triliunan rupiah. Atas dasar itu, Bank Z tempat dimana Perusahaan Y membuka rekening lalu melaporkan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) kepada PPATK dengan pertimbangan transaksi yang ada diluar dari kelaziman Perusahaan Y. Lalu PPATK melakukan analisis, dan dari berbagai informasi yang diperoleh lembaga yang menjadi focal point didalam menangani pencegahan dan pemberantasan tindak pencucian uang di Indonesia ini - menemukan indikasi telah melakukan tindak pencucian uang, karena berdasarkan informasi yang diperoleh dari financial intelligent unit dimana Yayasan X berada - tidak terdaftar dan nama pengirim yang mengirimkan uang kepada Perusahaan Y sedang dicari aparat kepolisian negaranya karena didakwa merupakan bagian dari gembong perdagangan narkotika.


Pola Pencucian Uang

Biasanya para pelanggar hukum yang mendapatkan uang atau kekayaan yang di peroleh secara tidak sah/legal berupaya menjadikannnya seolah-olah berasal dari sumber yang sah/legal. Pola yang dilakukan didalam proses engineering keuangan ini seringkali rumit dan kompleks, sehingga sulit untuk dideteksi. Namun, secara sederhana kegiatan ini pada dasarnya dapat dikelompokkan pada tiga kegiatan, yakni: placement, layering dan integration (Lihat: Money Laundering : a Banker;s Guide To Avoiding Problems, (www. occ.treas.gov/launder/org.htm, didownload April 2003).

Placement merupakan upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktifitas kejahatan. Dalam hal ini terdapat pergerakan phisik dari uang tunai, baik melalui penyeludupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan melakukan penempatan uang giral ke dalam sistem perbankan, misalnya deposito, saham-saham atau juga mengkonversikan kedalam mata uang lainnya atau transfer uang kedalam valuta asing.

Layering, sebuah aktifitas memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ketempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan/mengelabui sumber dana “haram” tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin ke rekening-rekening perusahaan-perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.

Integration, yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai suatu 'legitimate explanation' bagi hasil kejahatan. Disini uang yang di ‘cuci' melalui placement maupun layering dialihkan kedalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktifitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang di cuci. Pada tahap ini uang yang telah dicuci dimasukkan kembali kedalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum.

Pola transaksi yang dilakukan oleh Yayasan X ini dikenal dengan layering, untuk itu ia dapat dikategorikan telah melanggar UU TPPU Pasal 3 Pasal (1) yang menyebutkan setiap orang dengan sengaja :
1. menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana kedalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;
2. mentransfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;
3. membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
4. menghibahkan atau menyumbangkan harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
5. menitipkan Harta Kekayaan yang di ketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tinda pidana; atau
6. menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang di ketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).

Transfer dana dari Yayasan X kepada Perusahaan Y yang diduga berasal dari perdagangan narkotika merupakan harta kekayaan yang tidak sah sebagaimana diatur didalam Pasal 2 UU TPPU : hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana ayat (1) huruf (i) narkotika. Selanjutnya, hasil analisis yang dilakukan oleh PPATK disampaikan kepada Polri untuk dilakukan langkah selanjutnya yakni penyidikan, kemudian hasil penyidikan yang dilakukan Polri disampaikan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk dilimpahkan ke Pengadilan.

Kini, trend penipuan yang dikenal dengan Skema Nigerian lewat menang lotre dan sebagainya itu, kini tampaknya mulai beralih dengan menggunakan organisasi nirlaba. Mudah-mudahan yayasan yang akan memberikan dana pendamping kepada kabupaten yang berada di NTT tidak seperti yang digambarkan. Toh kalaupun ia, tak perlu terlalu berkecil hati. Sindrome kemiskinan itu tidak hanya melanda negeri ini, sindrome yang sama juga melanda sebahagian kecil masyarakat Italia yang nota bene negara maju. **


*)Penulis pembelajar masalah-masalah tindak pidana pencucian uang, tinggal di Tangerang.
Dimuat oleh Majalah BUMN WATCH Edisi Januari 2006

1 komentar:

Anonim mengatakan...

saya sudah membaca tentang yayasan yg membuat saya kaget.apabila berkenan tolong kirim email/no hp si penulis ke email saya ini. bhayingsatria@yahoo.co.id.
trims