Selasa, 11 September 2012

Pendanaan Teroris


Pendanaan Terorisme

Kemarin, Selasa 11 September 2012 saya di wawancarai oleh TV One. Reporter TV One Maya Puspita bertanya seputar aliran dana terorisme. Sampai dengan Juli 2012,  PPATK telah menyampaikan 48 hasil analisis terkait pendanaan terorisme.

Dari hasil riset yang dilakukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ada dua methode yang dilakukan oleh para pelaku terorisme didalam memupuk dana sebagai penggerak kegiatan yang dilakukan. Pertama pengumpulan dana lewat Fai , yakni kegiatan yang dilakukan dengan kekerasan dan tindak pidana seperti perampokan, pencurian, dan kegiatan dengan tindak kekerasan lainnya. Dari hasil melakukan fai ini, hasilnya dibagi kepada para pelaku, diberikan kepada bendahara perkumpulan dan orang per orang. Dari hasil kegiatan yang dilakukan dengan tindak pidana ini akan melahirkan pula tindakan tindak pidana lainnya yaitu pengeboman dan lainnya.

Pengumpulan dana yang kedua, dilakukan dengan mengumpulkan uang dari anggota perkumpulan. Bisa jadi, para pemberi sumbangan  itu tidak mengetahui peruntukkan dana yang diberikan. Persentase pendanaan terorisme antara pendekatan yang dilakukan dengan fai dan pengumpulan dana oleh anggota perkumpulan lima puluh persen, lima puluh persen.

Contoh kasus yang ada dapat saya gambarkan seperti yang dilakukan oleh orang yang berinitial A yang memiliki hubungan dengan dengan SZ. Kedekatan ini dilihat dari kedatangan A ke Indonesia yang disponsori oleh SZ. Kemudian SZ mengenalkan "pengantin" pelaku pengeboman bunuh diri kepada A (Novmeber 2008). SZ juga membantu A untuk melakukan hubungan bisnis  di Indonesia dan ia mendapatkan komisi dari bisnis yang dilakukan.

A melakukan perjanjian bisnis dengan IH didaerah Kuningan. Dana untuk bisnis tersebut dikirimkan oleh A kepada IH melalui mertua IH yaitu EJ. Selanjutnya sebahagian dana tersebut diteruskan oleh IH kepada SZ. Selanjutnya SZ menggunakan dana tersebut untuk mendukung aksi pengeboman Hotel JWM dan RC .








Dari jumlah aliran dana yang tampak melalui sistem keuangan tidaklah begitu besar,  terlihat transaksi yang terjadi  Rp10 juta (15 Des 2008), Rp 10 juta (24 Des 2008), Rp 34 juta (5 Januari 2009), Rp1.400.000 (6 Januari 2009), Rp1.400.000 (April 2009).

Untuk melakukan aksi teror, biaya operasional merupakan ongkos yang kecil. Tetapi mereka dapat melakukan aksi besar dengan melakukan rekrutmen, menanamkan idiologi tertentu lalu melahirkan orang-orang yang rela mati demi ideologi yang tidak jelas dan mereka lupa aksi yang dilakukan telah menelan korban jiwa dari saudaranya sendiri.

Jakarta, 12 September 2012

Natsir Kongah,
Pembelajar Masalah-Masalah Tindak Pidana Pencucian Uang.
  

Kamis, 28 Juni 2012

BAU AMIS PEMILIHAN KOMISIONER OJK


BAU AMIS PEMILIHAN KOMISIONER OJK
Oleh : Natsir Kongah*

Saya memaklumi kekecewaan besar yang dirasakan oleh industri perbankan terhadap keterpilihannya dewan komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang ada. Selain tidak adanya perwakilan industri perbankan sebagai pemilik komposisi terbesar dari Rp. 7.700 triliuan asset bank dan non bank yang ada, pula proses pemilihan di tingkat politik itu merebak bau amis. Tak heran kalau Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional, Sigit Pramono menyayangkan dan akan mempertimbangkan untuk menempuh jalur hukum tertentu (Kompas, 21 Juni 2012).

Selasa, 19 Juni 2012 malam Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melalui Komisi XI DPR RI menentukan hasil uji kepatutan dan kelayakan 14 nama calon Dewan Komisioner OJK. Tujuh dari 14 nama yang ada ditetapkan sebagai Komisioner OJK secara defenitif dengan ketua Muliaman Hadad, anggota Nurhaida (54 suara), Firdaus Djaelani (53 suara), Kusumaningtuti S Soetiono (53 suara), Ilya Avianti (50 suara), Nelson Tampubolon (44 suara), dan Rahmat Waluyanto (40 suara). Keputusan yang ada ini selain menimbulkan pro dan kontra juga melahirkan berbagai isu-isu tak sedap.

Dikalangan perbankan, pasar modal dan asuransi bisik-bisik yang beredar menyebutkan bahwa sebahagian dari komisoner yang terpilih, dipilih secara tidak wajar dan fair. Isu yang ada dibumbui pula oleh banyaknya uang dolar yang beredar untuk menggoalkan seseorang untuk dapat terpilih menjadi Dewan Komisioner OJK. Pertanyaan lain yang kerap muncul, bagaimana anggota dewan dapat memilih secara baik dan benar – bila proses uji kepatutan dan kelayakan yang hadir “hanya” 5 – 20 anggota dewan, sementara ketika voting dilakukan seseorang bisa mendapatkan 54 suara atau 44 suara dari  56 jumlah anggota dewan yang memilih?

Belajar dari Skandal Suap Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia

Belum lepas ingatan kita dan belum pula usai proses penegakan hukum kasus suap pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia. Skandal ini bermula di bulan Mei 2004,  Komisi IX DPR RI  menerima tugas dari Pimpinan DPR RI untuk melaksanakan fit and proper test dalam rangka pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia sebagaimana diusulkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Ada tiga calon yang diajukan ketika itu : Miranda Goeltom, Hartadi A.Sarwono, dan Budi Rochadi.

Dari jalannya persidangan tindak pidana korupsi terkait kasus ini,  tergambar bahwa untuk memuluskan jalan Miranda Swaray Goeltom menjadi Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, ada “sponsor” yang turun gunung menyediakan 480 cek pelawat dengan masing-masing senilai Rp. 500.000.000,- dengan total Rp. 24 milyar. Miranda memperoleh suara sebanyak 41 dari 54 orang anggota Komisi IX DPR RI.
Entah bagaimana cek itu sampai ke tangan Nunun Nurbaetie, yang telah divonis bersalah membantu menyerahkan cek pelawat. Dalam sidang, sejumlah saksi dan terdakwa menerangkan bahwa cek mengalir melalui Arie Malangjudo,  Direktur Utama PT Wahana Esa Sejati. Arie mendapat perintah dari Nunun Nurbaetie, Komisaris PT Wahana sehari sebelum uji kepatutan dan kelayakan dilakukan.

Kemudian Nunun meminta politikus Partai Golkar, Hamka Yandhu, untuk mengatur pembagian 480 lembar cek suap tersebut. Hamka menyatakan pembagian sudah diatur dengan cara memberikan kode warna merah, kuning, hijau, dan putih pada kantong kertas tempat cek pelawat. Dalam persidangan terungkap pula, bahwa cek pelawat yang dikeluarkan oleh  BII itu diadakan oleh Bank Artha Graha berdasarkan permintaan dari PT First Mujur Plantation. Bekas Direktur Keuangan First Mujur, Budi Santoso alias Awen, mengatakan cek dibeli atas permintaan Suhardi Suparman alias Ferry Yen untuk membayar lahan sawit seluas 5.000 hektare di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara yang dibeli oleh Teddy Uban. Ferry tak bisa bersaksi karena wafat pada 7 Januari 2007. Hakim Sudjatmiko, yang mengadili Nunun, menilai Ferry adalah tokoh fiktif yang diciptakan untuk menutupi alur kasus ini.

Pembatasan Transaksi Tunai

Sudah saatnya Pemerintah Indonesia mengatur untuk melakukan pembatasan transaksi tunai ditengah masyarakat. Hal ini dilakukan guna menghindari atau pun menurunkan angka kejahatan penyuapan, korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang kian waktu kian hari terus membengkak. Menurut data statistik yang dikeluarkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) trend korupsi dan penyuapan mengalami kenaikan secara signifikan. Sampai dengan bulan Mei 2012 hasil analisis yang disampaikan oleh PPATK kepada penyidik sebanyak 877 kasus korupsi dan 75 kasus penyuapan yang modusnya antara lain menggunakan uang tunai dalam bentuk rupiah, uang tunai dalam bentuk mata uang asing dan cek perjalanan.
Contoh penggunaan uang tunai untuk penyuapan dapat dilihat dari kasus yang paling gress dengan tertangkap tangannya oknum petugas pajak Tomy Hendratno, Kasi pelayanan dan konsultasi di Kantor Pealayanan Pajak (KPP) Sidoarjo. Tomy tertangkap setelah kedapatan menerima uang senilai Rp 285 juta yang diduga dari James Gunarjo, seorang pengusaha. Sebelumnya, Dharnawati, Kuasa Direksi PT Alam Jaya Papua  yang diciduk petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah mengantarkan duit Rp 1,5 miliar yang dibungkus kardus durian. KPK juga menangkap tangan I Nyoman Suisnaya. dan Dadong Irbarelawan beserta kardus durian di kantor Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Duit itu adalah bentuk ucapan terima kasih PT Alam Jaya karena terpilih sebagai kontraktor Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID),  di empat kabupaten Papua, yakni Keerom, Teluk Wondama, Manokwari, dan Mimika, senilai Rp 73 miliar.
Pemerintah perlu pula mengatur peredaran mata uang asing di Indonesia, khususnya mata uang yang nilainya kuat seperti dolar Amerika dan dolar Singapura. Mata uang ini kerap kali dipakai sebagai transaksi korupsi dan penyuapan baik dilingkungan eksekutif, legislatif maupun judikatif.
Ketika saya satu mobil dengan rekan anggota dewan yang terhormat, ia kelihatan begitu sulit mendapatkan uang rupiah dari kantongnya untuk membayar parkir. Saat membuka dompet yang agak panjang dari saku celana belakangnya semua berisi dolar Amerika dan Singapura. Ketika merogoh dari saku depan kiri dan kanan yang keluar  uang dalam bentuk dolar juga. Terpaksa saya mengeluarkan uang rupiah pecahan Rp. 20.000, padahal stok uang tinggal itu untuk membeli tiket kereta api dari Stasiun Palmerah ke Stasiun Sudimara, Tengerang Selatan.  

Penutup

Beredarnya isu banyaknya uang dolar yang beredar di lingkungan DPR  terkait pemilihan Dewan Komisioner OJK perlu segera ditindaklanjuti agar tidak liar dan merebak kemana-mana. Sebab bila tidak,  saling curiga mencurigai akan terus menyerap energi yang ada, dan   kita akan terus tersandera pada hal-hal yang bukan substantive. Lebih dari itu, bila rumours ini terus berkembang akan menggerus tingkat kepercayaan masyarakat dan industri kepada OJK. Padahal, kepercayaan adalah modal utama Otoritas Jasa Keuangan.

*Pembelajar masalah-masalah tindak pidana pencucian uang.

Senin, 11 Juni 2012

OJK DAN ORGANISASI KEJAHATAN


OJK DAN ORGANISASI KEJAHATAN

Oleh : Natsir Kongah*
Dimuat oleh Harian Kompas : 11 Juni 2012

Dalam dua minggu ini, Dewan Perwakilan Rakyat RI akan melakukan fit and proper test terhadap 14 calon komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Bila tidak ada aral melintang, pada tanggal 19 Juni 2012 nanti Anggota Dewan Komisioner definitive sudah dapat diumumkan. Inilah hari-hari yang penuh dengan kasak-kusuk, agar dirinya, orang yang didukungnya atau pihak yang dicalonkannya mendapatkan suara terbanyak untuk dapat terpilih.
Sebagai pejabat negara sekaligus negarawan, anggota DPR RI yang memilih perlu ekstra hati-hati penuh dengan hati nurani untuk dapat mengambil yang terbaik.  Sebab, nasib akan Rp. 7.700 triliun asset industri perbankan dan non bank akan berada dipundak Anggota Dewan Komisoner OJK yang terpilih nantinya untuk dapat mengawasi dan menjaga agar sesuai dengan ketentuan. Bila dihitung dari sisi nilai, maka kekuasasan yang dimiliki Anggota OJK ini jauh lebih besar dibandingkan dengan kekuasaan Presiden RI yang “hanya”  mengelola dana sebesar  Rp. 1.311 triliun rupiah anggaran pendapatan negara dan hibah tahun 2012. Lebih dari itu Infrastruktur yang dimiliki oleh Presiden jauh lebih memadai, dimana ada BPK, KPK, Kejaksaan, Kepolisian dan Institusi lainnya yang dapat mengawasi proses pengelolaan dana yang ada.
Selain kekuasaan, tanggung jawab yang diemban oleh dewan komisioner OJK juga begitu besar. Bila kita lihat uang hasil kejahatan yang diputar dalam system keuangan global, maka akan terlihat angka yang begitu memukau : 2 - 5% dari Gross Domestic Produck (GDP) dunia. Michel Camdessus, mantan Managing Director International Monetary Fund (IMF) menyebutkan persantese itu setara dengan US$ 800 milyar sampai dengan US$ 2 Triliun.  Penelitian lain yang dilakukan oleh Walker dan Unger dalam Review of  Law and Economics, Vol.5, No.2 tahun 2010 mendapatkan angka antara US$ 1,061 sampai dengan US$ 1,599 miliar per tahunnya.

Indonesia belum mengetahui jumlah yang pasti berapa uang hasil kejahatan yang dicuci pada industri perbankan dan non perbankan, hal ini dikarenakan sifat dan kegiatannya yang tersamar dan tidak tercermin dalam angka-angka statistik. Bila kita mengacu akan angka perkiraaan yang dikeluarkan oleh Camdessus diatas, maka akan diperoleh perhitungan seperti ini : GDP Indonesia tahun 2012 sebanyak US$ 852,24 miliar (menurut perhitungan IMF), 2% x US$. 852,24 miliar  x Rp. 9.000,- (kurs per  dolarnya), maka uang hasil kejahatan yang dicuci di Indonesia sebanyak Rp. 153 Triliun lebih. Sebuah angka yang sungguh fantastis tentunya.

Uang hasil kejahatan terutama yang berasal dari tindak kejahatan berat dan serius seperti korupsi, perdagangan obat bius, perdagangan senjata dan manusia, penyeludupan, kejahatan di bidang perpajakan, kejahatan di pasar modal, kejahatan di industri asuransi dan lain sebagainya akan dominan berputar di industri bank dan non bank. Para pelaku pencucian uang merasa lebih nyaman dalam melakukan upaya menyembunyikan atau menyamarkan uang hasil kejahatannya melalui instrument ini.  Oleh karena itu, pengawasan oleh OJK dari kejahatan pencucian uang yang dilakukan oleh pelaku kejahatan terorganisir (organized crime) mutlak dilakukan sebab pengaruh buruk yang ditimbulkannya begitu kuat, antara lain berupa instabilitas sistem keuangan, distorsi ekonomi dan kemungkinan gangguan terhadap pengendalian jumlah uang beredar.  

Pelaku kejahatan teroganisasi mengakui bahwa kegiatan pencucian uang merupakan bisnis kriminal yang sangat menguntungkan, dan mereka menyadari pula bahwa untuk membuktikan tindak kejahatan pencucian uang tidaklah mudah dilakukan, sebab dalam kegiatan bisnis tersebut banyak pihak yang terkait. Pihak-pihak yang terkait ini terdiri dari berbagai macam profesi mulai dari pegawai dan pengelola bank, akuntan, penasihat hukum, para penegak hukum, otoritas pengawas pasar keuangan, hingga anggota dari lembaga-lembaga resmi lainnya. Walaupun mereka tidak terlibat dalam kejahatan pencucian uang secara langsung, namun yang bersangkutan ikut aktif membantu melakukan berbagai kegiatan seperti menyembunyikan data atau informasi, melakukan transfer atau pemindahan hasil-hasil kejahatan, melakukan kegiatan administrasi dan sebagainya.
Esensi kegiatan pencucian uang bukanlah hal sederhana seperti misalnya hanya ingin menyembunyikan hasil-hasil kejahatannya, tetapi lebih jauh dari itu adalah bagaimana memanfaatkan kembali hasil-hasil kejahatan tersebut melalui berbagai proses yang begitu rumit dan kompleks sehingga akhirnya seakan-akan telah menjadi sumber keuangan yang sah. Penggunaan badan usaha atau lembaga terselubung untuk menyembunyikan hasil-hasil kejahatan tersebut di bank-bank luar negeri dan mendaur-ulangnya melalui sistem keuangan untuk berspekulasi dalam bentuk uang atau barang merupakan pilihan atau metode yang lazim digunakan oleh para pencuci uang.
Oleh sebab itulah peran industri bank dan non bank dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang begitu besar. Bank dan non bank harus mengambil langkah-langkah konkrit untuk melakukan identifikasi, memperkecil dan mengelola setiap risiko yang berasal dari uang haram yang mengancam kelangsungan usaha individual bank dan non bank. Untuk dapat melakukan hal itu, bank dan non bank sendiri harus pula memiliki mekanisme audit yang efektif dan mekanisme manajemen risiko serta memiliki sumber daya yang cukup baik untuk dapat memahami dan melaksanakan peraturan perundang­-undangan, seperti prinsip mengenal pengguna jasa sebagaimana diatur oleh UU PP TPPU  dan pedoman yang dikeluarkan oleh PPATK.
OJK memiliki peran penting pula untuk mengawasi industria bank dan non bank agar terhindar atau terlibat didalam proses pencucian uang. Bilamana pengawasan  OJK lemah,  maka pelaku kejahatan atau organisasi kejahatan dapat memanfaatkan kekurangan yang ada untuk meraup limpahan dana melalui hasil kejahatan yang berhasil dicucinya, dan uang tersebut dapat pula digunakan untuk mendikte jalannya penyelenggaraan negara. Pelaku, anggota atau kelompok kejahatan tersebut dengan uang yang mereka miliki mampu menduduki kursi legislative, eksekutif dan judikatif. Lalu apa jadinya bila bangsa dan negara ini dijalankan dan diawasi oleh para begundal? 

Agar terhindar dari resiko-resiko yang ada, OJK memerlukan sosok-sosok yang memiliki profesionalisme, integritas, dan moral yang tinggi untuk mengemban tugas yang cukup berat ini. Terlebih diperlukan pula paling tidak seorang anggota yang memahami betul seluk-beluk tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, plus jaringan yang kuat dengan aparat penegak hukum untuk lebih memudahkan dan lebih cepat dalam penangan tindak pidana pencucian uang yang terjadi.
·         Pembelajar masalah-masalah tindak pidana pencucian uang.

Senin, 26 Maret 2012

Penegakan Hukum Pencucian Uang

Dimuat oleh Harian Media Indonesia, Selasa, 27 Maret 2012
Rubrik Opini halaman 20.

Natsir Kongah Pembelajar masalah-masalah tindak pidana pencucian uang
Penegakan Hukum Pencucian Uang

SENANG bisa bersentuhan secara intelektual dengan Romli Atmasasmita,
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran.

Banyak hikmah dapat kita ambil dari tulisan yang dimuat Media Indonesia
(Selasa, 20 Maret 2012) di rubrik Opini dengan judul 'Misteri Penegakan
Hukum Pencucian Uang'. Di sisi lain, banyak pula hal yang luput dari dia
sehingga pernyataan yang ada mengandung persepsi dan pandangan yang
tidak lurus dengan makna yang kurang pas.

Romli menyebutkan, '... mengapa laporan PPATK tidak memuat laporan hasil
analisis TKM yang berasal dari rekening korporasi nasional dan asing
yang beroperasi di Indonesia.

Pun mengapa justru rekening PNS dan aparatur penegak hukum dipandang
lebih penting daripada korporasi tersebut.

Konteks ini patut dipersoalkan apakah pemberantasan pencucian uang hasil
korupsi atau tindak pidana lainnya sengaja dibidikkan kepada
penyelenggara negara sehingga mental penyelenggara negara terkesan
sangat bobrok jika dibandingkan dengan mental pengusaha korporasi itu
sendiri, terutama di hadapan publik dalam dan luar negeri....' Pada
dasarnya, tugas Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
sebagai financial intelligence unit (FIU) tidak memandang pelaku

itu sebagai birokrat, teknokrat, legislatif, eksekutif, maupun
yudikatif, apalagi sampai menilai moral atau mental pihak yang
dilaporkan. Pasal 3 UU Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) menyebutkan, 'Setiap orang yang
menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan,
menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk,
menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana, dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul
Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang'.

PPATK bekerja dengan mekanisme menerima laporan transaksi keuangan
mencurigakan (LTKM) yang disampaikan penyedia jasa keuangan (PJK) dan
penyedia barang dan jasa (PBJ). Setelah itu, laporan tersebut dianalisis
PPATK dengan menggunakan berbagai sumber informasi untuk kemudian
dianalisis dengan menggunakan berbagai metode yang telah terasah serta
teruji yang dilakukan sumber daya manusia yang memiliki sertifi kasi
khusus untuk itu. Hasil analisis (HA) PPATK selanjutnya disampaikan
kepada penyidik untuk mengembangkan dan mencari

alat bukti yang kemudian disampaikan kepada jaksa pen nuntut umum untuk
diajukan k ke depan majelis hakim.

Sejatinya, dari LTKM perorangan yang berindikasi melakukan tindak pidana
pencucian uang itulah akan menjalar dan diketahui pula pihak-pihak lain
yang terlibat di dalamnya, baik ia bersifat individu maupun korporasi.
Istilah lain, Guy Stessen dalam bukunya, Money Laundering: A New
International Law Enforcement Model, menyebutkan secara umum ada tiga
alasan mengapa kejahatan pencucian uang perlu diperangi dan dinyatakan
sebagai tindak pidana. Pertama, pencucian uang dapat meme ngaruhi sistem
keuangan dan ekonomi yang diyakini berdampak negatif bagi perekonomian,
misalnya dampak negatif terhadap efektivitas penggunaan sumber daya dan
dana. De ngan adanya pencucian uang, sumber daya dan dana kerap
digunakan untuk kegiatan tak sah dan merugikan masyarakat. Kedua,
pengkriminalisasian pencucian uang sebagai tindak pidana akan lebih
memudahkan penegak h uk u m menyita hasil tindak pidana. Ketiga,
pengkriminalisasian pencucian uang sebagai tindak pidana serta adanya
ketentuan dan sistem pelaporan transaksi dalam jumlah tertentu serta
transaksi yang mencurigakan akan kian memudahkan penegak hukum
menyelidiki kasus tindak pidana sampai tokoh-tokoh yang ada di belakangnya.

Misalnya saja kasus Dhana Widyatmika (DW), oknum pegawai pajak yang
menjadi tersangka korupsi dan pencucian uang. Media massa menyebutkan
PPATK menyampaikan HA terkait dengan DW yang terindikasi melakukan
tindak pidana pencucian uang. Lalu, penyidik dalam hal ini lam hal ini
Kejaksaan Agung menggali alat buk ti terkait dengan dugaan tersebut.

D a r i hasil pe nelusur an tersebut, ditemu kan bukti-bukti yang
memadai sehingga menjadikan terlapor sebagai tersangka. Selanjutnya,
penyidik menemukan pula bukti keterlibatan tersangka dengan beberapa
korporasi, termasuk korporasi asing. Tersangka Dhana Widyatmika memegang
beberapa perusahaan wajib pajak, salah satunya sebuah perusahaan asing
yang bergerak di bidang transportasi, PT CT. Dhana ternyata juga pernah
mengurus pajak perusahaan tersebut hingga maju ke Pengadilan Pajak.

Begitu juga dengan kasus terpidana Gayus Tambunan (GT).
Dari HA yang disampaikan PPATK, itu berkembang terus dan sampai kepada
pengakuan GT di dalam persidangannya bahwa uang yang ia terima berasal
dari korporasi. Inves tor Daily Indonesia (27/2/2011) menuliskan, '...
sejumlah fakta sudah terungkap dengan amat jelas. Gayus berkali-kali
mengaku bahwa dia hanyalah ikan teri, operator lapangan yang bekerja
berdasarkan order.

Itu berarti ada aktor utama, si pemberi perintah.

Dalam kesaksian, Gayus juga menyebutkan menerima uang Rp30 miliar dari
beberapa perusahaan sebagai imbalan atas 'bantuan' menyelesaikan
persoalan pajak oleh perusahaan-perusahaan itu. Terlihat ada kerja sama
erat antara penyedia uang dan penerima yang bekerja di lapangan. Ada
juga laporan hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
terhadap enam perusahaan yang diduga memanipulasi pajak senilai
triliunan rupiah. Total nilai sengketa pajak yang kini sedang diproses
ternyata mencapai puluhan triliun. Itu data Ditjen Pajak. Hasil audit
BPK tersebut menemukan banyak penyimpangan dan pelanggaran'.

Fakta yang disampaikan media massa tersebut menunjukkan adanya
keterlibatan orang per orang, oknum perusahaan, dan pihak-pihak lainnya.
Tindak lanjut atas HA yang disampaikan PPATK tersebut bukan lagi
kewenangan PPATK, melainkan penyidik untuk mengembangkan kepada pihak
lainnya, termasuk korporasi yang diduga terlibat. Membangun rezim
antipencucian uang yang efektif di Indonesia tidaklah dapat disandarkan
kepada salah satu institusi semata, tetapi harus dilakukan kerja sama
yang kuat di antara

instansi terkait.

Kerja sama yang baik antarinstansi terkait dapat kita lihat dari
terbongkarnya kasus L/C fiktif yang dilakukan Adrian Herling Waworuntu
dan kawan-kawan yang menimbulkan kerugian negara atau perekonomian
negara sebesar Rp1,2 triliun lebih.

PPATK, Polri, kejaksaan, dan pengadilan bekerja secara optimal sehingga
Pengadilan Tinggi Jakarta memutuskan pada 24 Juni 2005 terdakwa Adrian
Herling Waworuntu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana 'turut serta melakukan tindak pidana korupsi yang
dilakukan secara berlanjut' sebagaimana dalam dakwaan primer; menghukum
terdakwa dengan pidana penjara selama seumur hidup; menghukum terdakwa
dengan pidana denda sebesar Rp1 miliar subsider 1 (satu) tahun kurungan
dan menghukum terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp300 miliar;
serta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Dari fakta tersebut, menurut hemat saya, tidak ada lagi hal yang perlu
diragukan atas keberadaan dan kemaslahatan yang telah dilakukan PPATK,
kepolisian, kejaksaan, dan instansi terkait lainnya, apalagi sampai
menimbulkan misteri.

Tinggal bagaimana kita secara bersama-sama terus mengawal dan mendorong
agar rezim antipencucian uang di Indonesia dapat berjalan secara optimal.

Simak pula pertanyaan yang disampaikan Sor Juana Ines de la Cruz, salah
seorang penyair terbesar Meksiko pada Abad ke17, "Siapa yang paling
bersalah dalam dosa bersama? Si perempuan yang menjual dosa atau si
lelaki yang membeli dosa?"

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/03/27/ArticleHtmls/Penegakan-Hukum-Pencucian-Uang-27032012020004.shtml?Mode=1


Selasa, 06 Maret 2012

MEMBONGKAR MAFIA DENGAN UU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

MEMBONGKAR MAFIA DENGAN UU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Oleh : Natsir Kongah*

Dimuat oleh Harian Kompas, 7 Maret 2012 hal.7

Saya sedikit mengernyitkan dahi ketika membaca Kompas Minggu 4 Maret 2012. Judulnya tertulis : Laporan PPATK Harus Berindikasi Tindak Pidana. Dalam artikel yang mengutip komentar, konon katanya dari pakar dibidang tindak pidana pencucian uang -- yang menilai bahwa Laporan Hasil Analisis (LHA) yang disampaikan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkesan tidak kuat dan tidak terkait indikasi tindak pidana. “Kalau tidak ada indikasi pidana Untuk apa diserahkan kepada aparat penegak hukum”.

Persepsi yang disampaikan oleh “pakar” ini menurut hemat saya keliru. Bila kita lihat dari alur Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) yang disampaikan oleh Penyedia Jasa Keuangan (PJK) kepada PPATK saja sudah terang ada indikasi, dimana LTKM yang disampaikan itu mengandung unsur menyimpang dari profile, karakteristik atau kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan.

LTKM yang diterima oleh PPATK tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan, mencari dan meminta data dari berbagai sumber informasi yang ada dengan melakukan pendekatan berbagai methode analisis yang telah terasah dan teruji. Setelah dilakakukan proses analisis kemudian menghasilkan produk yang disebut dengan Hasil Analisis (HA). Tak heran bila dari 10.587.703 laporan yang disampaikan oleh PJK dan Direktorat Bea dan Cukai sampai dengan Januari 2012 kepada PPATK, “hanya” 1.890 Hasil Analisis yang disampaikan kepada penyidik. “Kecilnya” angka HA yang disampaikan ini karena PPATK bukan berperan sekedar sebagai kantor pos semata, akan tetapi melakukan proses panjang untuk dapat memastikan bahwa Hasil Analisis yang disampaikan telah memilki indikasi kuat tindak pidana pencucian uang.

Informasi intellijen keuangan yang disampaikan oleh PPATK ini relatif “barang matang”, tinggal sentuhan penyidik untuk mendapatkan barang bukti, lalu kemudian menyampaikannya kepada penuntut umum untuk selanjutnya dibawa ke meja hijau. Dalam praktiknya memang diperlukan keahlian, kemauan dan kecerdasan untuk dapat mengungkapkan hasil analisis yang dilakukan oleh PPATK menjadi sebuat produk hukum yang mengikat.

Selain itu, sejatinya didalam membangun rezim anti pencucian uang yang efektif di Indonesia, tidaklah semata tergantung kepada salah satu institusi semata, melainkan kerjasama dan kemauan yang kuat di antara lembaga terkait dengan didasarkan kepada kepentingan bangsa dan negara. Seperti dalam sebuah ekosistem, bila salah satu pihak mengalami kebocoran maka efektifitas dari jalannya roda tersebut tidak sesuai dengan harapan. Bak kata pepatah “bersatu kita kokoh, bercerai kita runtuh”. Untuk melawan para mafia kejahatan yang begitu bersatu dengan kerjasama kuat, harus dilawan pula oleh persatuan, profesionalisme dan integritas penegak hukum yang tinggi.

Financial Intelligence Unit

Philosofi keberadanaan financial intelligence unit (FIU) nama generik internasional dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), merupakan sebagai media atau sarana bagi suatu lembaga untuk menjalankan teknik atau methode yang dinilai paling efesien dan efektif dalam memerangi berbagai bentuk kejahatan pada saat sekarang dan dimasa yang akan datang.

Tidak ada aturan baku yang mengatur bentuk dan peranan yang harus dijalankan oleh suatu FIU. Rekomendasi yang diterbitkan oleh Carrabbean Drug Money Laundering Conference misalnya hanya mengisyaratkan tentang suatu badan khusus yang bertanggung jawab melakukan tindakan penyidikan, penuntutan dan penyitaan. Sedangkan Rekomendasi Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering hanya menyebutkan perlunya competent authorities yang bertugas menerima dari penyedia jasa keuangan. Sedangkan European Money Laundering Directive menyebut badan yang berwenang memerangi pencucian uang dan mewajibkan anggota Uni Eropa untuk menjamin bahwa badan tersebut memiliki kewenangan meminta laporan dari penyedia jasa keuangan dan mewajibkan anggota Uni Eropa Untuk menjamin bahwa badan tersebut memiliki kewenangan meminta laporan dari penyedia jasa keuangan. United Nations Convention Against Corruption (2003) memerintahkan agar setiap negara anggota mendirikan FIU yang secara nasional berfungsi sebagai center for collection, analysis and dissemination informasi tentang dugaan pencucian uang.

Keberadaan FIU bagi suatu negara dianggap cukup penting untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Meminjam Guy Stessen, dalam bukunya Money Laundering A New International Law Enforcement Model, menyebutkan secara umum ada tiga alasan mengapa kejahatan pencucian uang perlu diperangi dan dinyatakan sebagai tindak pidana. Pertama, pencucian uang dapat mempengaruhi sistem keuangan dan ekonomi yang diyakini berdampak negatif bagi perekonomian dunia, misalnya dampak negatif terhadap efektifitas penggunaan sumber daya dan dana. Dengan adanya money laundering sumber daya dan dana banyak digunakan untuk kegiatan yang tidak sah dan dapat merugikan masyarakat. Kedua, pengkriminalisasian pencucian uang sebagai tindak pidana akan lebih memudahkan bagi aparat penegak hukum untuk menyita hasil tindak pidana. Ketiga, pengkriminilisasian pencucian uang sebagai tindak pidana dan dengan adanya ketentuan serta sistem pelaporan transaksi dalam jumlah tertentu, serta transaksi yang mencurigakan maka akan semakin memudahkan penegak hukum Untuk menyelidiki kasus-kasus tindak pidana sampai kepada tokoh-tokoh yang ada dibelakangnya.

Belajar dari Kasus Gayus Tambunan

Mari kita belajar dari kasus terpidana Gayus Halomoan Tambunan Jilid I, ketika itu Lapoaran Hasil Analisis yang disampaikan oleh PPATK “kurang” optimal digali oleh penyidik sehingga proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan berjalan secara smooth dan akhirnya GT ketika itu diputus bebas oleh Majelis Hakim. Keputusan itu memicu kecurigaan ditengah masyarakat, yang pada akhirnya Mabes POLRI membentuk tim khusus untuk membongkar kembali kasus yang sama sehingga terbukti dari mulai pelaku, oknum penyidik, oknum penuntut umum dan oknum hakim terbukti “bermain” dalam persoalan ini. Total hukuman Gayus Tambunan mencapai 28 tahun penjara, setelah mendapatkan vonis selama enam tahun penjara karena melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang.

· Penulis pembelajar masalah-masalah tindak pidana pencucian uang.