Selasa, 30 Oktober 2007

BANK DAN PENCUCIAN UANG

CITRA PERBANKAN dan
PENCUCIAN UANG [1]

Oleh :

Natsir Kongah[2]
Pengantar

Anyaman kepercayaan yang dibangun oleh perbankan terhadap masyarakat meski telah dibangun bertahun-tahun dapat pupus dalam waktu sekejab. Hal ini dapat dilihat dari krisis multi dimensi yang terjadi tahun 1997 lalu. Dari hasil survey yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC), 2002 terlihat persepsi masyarakat terhadap perbankan nasional sampai kinipun belumlah begitu kuat. Salah satu point dari hasil penelitian tersebut memberikan gambaran bahwa kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional, meski mulai membaik – namun belum sepenuhnya kembali seperti sebelum terjadinya krisis.

Ini menunjukkan bahwa kepercayaan dan citra merupakan modal dasar bagi industri perbankan didalam membangun dan mengembangkan bisnisnya, dimanapun ia berada!.

Pekan lalu, manajemen Commerzbank, bank publik terbesar ketiga di Jerman memastikan, Klaus-Peter Mueller, petinggi Commerzbank sedang diselidiki atas tuduhan terlibat kasus pencucian uang terbesar di Rusia bersama dengan beberapa stafnya. Pernyataan itu dikeluarkan secara resmi oleh Commerzbank menanggapi laporan Majalah Mingguan Der Spiegel.[3] Kondisi ini langsung membuat saham bank tersebut anjlok, akibat turunnya kepercayaan masyarakat terhadap bank yang sebelumnya memiliki reputasi cukup baik ini.

Dua pekan lalu, tepatnya 17 Agustus 2005, Financial Crimes Enforcement Natwork dan Office (FinCEN) dan Office of the Comptroller of the Currency telah menjatuhkan sanksi denda sebesar US$ 24 juta terhadap Arab Bank Cabang New York karena tidak mengimplementasikan ketentuan anti pencucian uang sebagaiman diatur oleh Bank Secrecy Act.

Sanksi administratif berupa denda, agaknya bukanlah masalah yang begitu merisaukan bagi bank berasset besar seperti ini. Tapi yang menjadi masalah adalah resiko reputasi akibat kurangnya kepercayaan masyarakat atas keberadaan suatu bank, sebagaimana yang dialami pula oleh Riggs National Corp.

Riggs National Corp, merupakan sebuah bank besar dengan asset U$ 6.37 miliar. Bank yang didirikan tahun 1836, dengan jumlah karyawan 1450[4] itu didenda oleh otoritas yang berkuasa di Amerika sebanyak U$ 25 juta karena tidak melaporkan laporan transaksi keuangan mencurigakan sebagaimana ketentuan Bank Secrecy Act Amerika.[5].

Tak hanya itu, rentetan kesialan terus menimpa Bank yang berkantor pusat di 1503 Pennyslvania Ave. NV Washington DC 20005. Bank yang memiliki 48 kantor cabang yang dibangun secara perlahan selama 178 tahun itu mengalami penurunan harga saham yang cukup signifikan dari harga tertinggi dalam 52 minggu terakhir $ 17.65 per saham, anjlok keangka $15.31 persaham[6]. Selanjutnya, kursi empuk President Riggs National Corp. yang diduduki oleh Timothy C.Coughlin sejak tahun 1992 dan kariernya selama 21 tahun di Riggs terpaksa harus dicopot. Penutup dari persoalan bank ini, meskipun belum dapat dikatakan selesai – ia harus rela di take over oleh pihak lain dengan berganti nama.

Kasus-kasus diatas merupakan gambaran betapa malangnya Penyedia Jasa Keuangan (PJK) bila tidak menerapkan ketentuan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang ( UU TPPU ) dan begitu rentannya bila ia tidak menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Costumer) yang merupakan bagian dari prinsip kehati-hatian untuk dapat menghindarkan PJK dari risiko reputasi, risiko operasional, risiko hukum dan risiko konsentrasi.

Resiko reputasi tergambar cukup jelas dari apa yang dialami oleh bank yang pernah mencatat rekapitulasi pasar sebanyak $ 468.29 juta ini dengan turunnya harga saham. Resiko reputasi merupakan potensi adanya publisitas negatif mengenai kegiatan usaha PJK yang dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap PJK yang bersangkutan. Risiko ini merupakan ancaman utama bagi bank, karena karakterisktik bisnis bank dalam hal ini sangat memerlukan kepercayaan masyarakat dan pasar pada umumnya. Sedangkan resiko operasional adalah risiko kerugian karena kegagalan resiko proses internal, manusia dan sistem atau faktor eksternal.

Apakah perbankan nasional terbebas dari resiko-resiko ini? Jawabnya tidak!. Sebagaimana diketahui, Indonesia merupakan salah satu negara yang enak tempat para launder melakukan pencucian uang, bahkan media massa sempat menyebut bahwa Indonesia surga dari tempat pencucian uang.



UU TPPU dan Kejahatan Perbankan

Undang – Undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.25 Tahun 2003 (UU TPPU) sebagaimana diatur didalam Pasal 2 menyebutkan bahwa Hasil Tindak Pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana : korupsi; penyuapan; penyeludupan barang; penyeludupan tenaga kerja; penyeludupan imigran; di bidang perbankan; di bidang pasar modal; di bidang asuransi; narkotika; psikotrapika; perdagangan manusia; perdagangan senjata gelap; penculikan; terorisme; pencurian; penggelapan; penipuan; pemalsuan uang; perjudian; prostitusi; di bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan; atau tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.

UU TPPU ini dapat dimanfaatkan oleh aparat penegak hukum sebagai alas berpijak untuk menjerat para pelaku, khususnya para aktor intelektual yang mendanai kegiatan illegal logging, perdagangan narkotika, korupsi, perdangan manusia dan lainnya. Lewat pendekatan ini, tidak hanya secara phisik para pelaku dapat dideteksi, tapi juga harta kekayaan dari hasil-hasil tindak kejahatan tersebut dapat di trasir.

Didalam konsep tindak pidana pencucian uang, hal yang utama dikejar adalah uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan, dengan alasan. Pertama, bila mengejar pelakunya lebih sulit dan beresiko. Kedua, bila dibandingkan dengan mengejar pelaku akan lebih mudah dengan mengejar hasil dari kejahatan. Ketiga, hasil kejahatan merupakan darah yang menghidupi tindak pidana itu sendiri (live bloods of the crime). Bila hasil kejahatan ini dikejar, dan disita untuk negara dengan sendirinya akan mengurangi tindak kejahatan itu sendiri[7].


Pengertian dan Pola Pencucian Uang

Secara sederhana pencucian uang merupakan suatu perbuatan memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari suatu tindak pidana yang kerap dilakukan oleh criminal organization, maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotika, kejahatan kehutanan, kejahatan lingkungan hidup dan tindak pidana lainnya dengan tujuan menyembunyikan, menyamarkan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut, sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari kegiatan yang ilegal. Adapun yang melatarbelakangi para pelaku pencucian uang melakukan aksinya adalah dengan maksud memindahkan atau menjauhkan para pelaku itu dari kejahatan yang menghasilkan proceeds of crime, memisahkan proceeds of crime dari kejahatan yang dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya kecurigaan kepada pelakunya, serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk aksi kejahatan selanjutnya atau ke dalam bisnis yang sah.

UU TPPU memberi tugas kepada PPATK (pasal 26 dan pasal 27) antara lain: mengumpulkan, menyimpan, menghimpun, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh dari penyedia jasa keuangan; membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan transaksi keuangan yang mencurigakan; memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi lain yang berwenang mengenai informasi yang diperoleh sesuai ketentuan UU TPPU; memberikan rekomendasi kepada Pemerintah sehubungan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; melaporkan hasil analisis terhadap transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian untuk kepentingan penyidikan dan Kejaksaan untuk kepentingan penuntutan dan pengawasan; membuat dan menyampaikan laporan mengenai analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala kepada Presiden, DPR dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan bagi Penyedia Jasa Keuangan (PJK).

Sedangkan kewenangan PPATK, antara lain : meminta dan menerima laporan dari PJK; meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada penyidik atau penuntut umum. Dari tugas dan wewenang tersebut di atas terdapat dua tugas utama yang menonjol dalam kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, yaitu tugas mendeteksi terjadinya tindak pidana pencucian uang dan tugas membantu penegakan hukum yang berkaitan dengan pencucian uang dan tindak pidana yang melahirkannya (predicate offences).

Dalam rangka mendeteksi tindak pidana pencucian uang, PPATK menerima laporan, yaitu :
a. Laporan transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikan oleh penyedia jasa keuangan (pasal 1 angka 6 7 dan pasal 13 UU TPPU);
b. Laporan yang disampaikan oleh penyedia jasa keuangan tentang transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif Rp 500 juta atau lebih (pasal 1 angka 8 dan pasal 13UU TPPU);
c. Laporan yang disampakan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai mengenai pembawaan uang tunai rupiah ke dalam atau ke luar wilayah negara Republik Indonesia sejumlah Rp 100 juta atau lebih (pasal 16).


Selanjutnya dalam proses penegakan hukum, PPATK dapat melakukan kerjasama dan membantu pihak penyidik dan penuntut umum dengan informasi yang dimiliki dan kemampuan analisisnya. Informasi tersebut dapat berasal dari data base PPATK atau dapat juga berasal dari sharing information dengan FIU dari negara lain.


Disamping itu, menurut Keppres No.82 Tahun 2003, PPATK juga menerima informasi dari masyarakat yang terindikasi telah melakukan tindak pidana pencucian uang Di dalam praktek saat ini berdasarkan kewenangan yang tertuang di dalam Keppres No. 82 Tahun 2003, PPATK dapat pula menerima informasi dari pihak ketiga baik perorangan maupun entitas mengenai dugaan tindak pidana pencucian uang oleh sesuatu pihak.

Sanksi Bagi PJK yang Tidak Melapor

Sanksi pidana bagi PJK yang tidak melaksanakan ketentuan diatas sebagaimana diatur didalam Pasal 8 UUTPPU menyebutkan bahwa Penyedia Jasa Keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) UUTPPU, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah.

Selain itu didalam Pasal 6 UU TPPU diatur pula bagi setiap orang yang menerima atau menguasai : penempatan; pentransferan; pembayaran; hibah; sumbangan; penitipan atau penukaran, harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).


Jumlah ini memang tidak sebanding dengan sanksi yang di jatuhkan terhadap Riggs National Corp. sebanyak $ 25 juta oleh Bank Sentral Amerika dan perbankan nasional sejauh ini belum ada yang menerima sanksi pidana sesuai dengan UU TPPU . Tapi percayalah, bila hal ini tidak diterapkan – sanksi itu akan dijatuhkan. **
Fote Note
[1]. Makalah disampaikan pada Forkamas Gathering 2005 sebagai bahan berbagi informasi antar praktisi Humas. Denpasar 31 Agustus – 1 September 2005.

[2] . Penulis praktisi Public Relations Pusat Pelaporan dan Analisis transaksi Keuangan (PPATK)

[4]. Riggs National Corp, http://www.riggsbank.com/, didownload pada tanggal 1 Juni 2004

[5]. Kathleen Day, “Riggs May Be Fined More Than $ 25 Million, Penalty Related to Bank

Secrecy Act” 28 April 2004. http:www.washingtonpost.com/wp-dyn/articles/A47866-2004Apr27.html.
[6]. Kathleen Day dan Terence O’Hara, “Riggs Starts Exploring Possible Sale, President of Bank’s Parent Firm to Resign” 28 Mei 2004. http://www.washingtonpost.com/wp-%20dyn/articles/A61810-%20%20%20%20%20%202004May27.html?referrer=email, didownloan pada tanggal 1 Juni 2004.

[7]. Bandingkan dengan Robert E.Powis, The Money Launderers, (Singapore : Probus Publishing Co., 1992) sebagaimana dikutip oleh Hikmahanto Juwana dalam makalahnya, “ Beberapa Aspek Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang” disebutkan pada awalnya pencucian uang dikenal di negara-negara industri seperti Amerika Serikat (AS). Pada saat itu uang hasil dari tindak kejahatan seperti bandar narkoba, prostitusi, perjudian dan lain sebagainya yang disebut sebagai predicate crime dikelola sedemikian rupa sehingga tidak mudah untuk dilacak dan ditentukan bahwa uang tersebut merupakan hasil kejahatan. Pemerintah AS mengambil tindakan tegas melalui pembentukan UU Bank Secrecy Act terhadap pelaku pencuci uang profesional dengan tiga harapan. Pertama, dengan mengundangkan peraturan yang terkait dengan larangan pencucian uang maka para pencuci uang profesional atau lembaga-lembaga yang mewadahinya akan dapat dikenakan sanksi hukum pidana. Kedua, bagaimana uang hasil kejahatan dapat dilacak yang kemudian dapat dirampas oleh negara. Ketiga, agar uang dari hasil kejahatan tidak terus berkembang biak dan memberikan keuntungan bagi pemiliknya (yang mungkin digunakan untuk mendanai kegiatan kejahatan juga, seperti terorisme), dan diharapkan dapat mempersempit penggunaan uang dimaksud.

[8]. “Factsheet : IMF and the Environment”; “Review of the Fund’s Experience in Governance Issues,” IMF Policy Development and Review Department, 28 Maret 2001. http://www.imf.org/external%20/np/gov/2001/report.htm.

2 komentar:

Edi Nasution mengatakan...

Selamat kami ucapkan kepada Sdr. Natsir Kongah atas kehadiran blog pencucian uang ini, dan moga2 ada kesempatan untuk menambah kuantitas content-nya.

Anonim mengatakan...

Luar biasa! Btw, kumpulan makalah neh....