Rabu, 29 Oktober 2014

JAKSA AGUNG YANG MENSEJAHTERAKAN

Jaksa Agung yang Mensejahterakan Rabu, 17 September 2014 | 01:40 WIB. TEMPO.CO Natsir Kongah, Pembelajar masalah-masalah tindak pidana pencucian uang Dalam kampanye pencalonan presiden-wakil presiden, Jokowi-JK menyampaikan visi dan misinya untuk mensejahterakan rakyat. Salah satu hal yang efektif untuk dapat mensejahterakan rakyat adalah dengan membasmi korupsi dan merampas aset hasil kejahatan yang dilakukan untuk kemakmuran rakyat. Keberadaan Jaksa Agung yang mumpuni merupakan salah satu pilar yang dapat mensejahterakan rakyat serta menegakkan keadilan. Tidak dapat dimungkiri, peran Jaksa Agung sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di bidang penuntutan serta penyidikan terhadap tindak pidana tertentu sangat sentral dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Agar dapat ikut mensejahterakan rakyat, Kejaksaan Agung patut dipimpin oleh orang yang progresif dalam pemikiran dan penegakan hukum. Di matanya, hukum bukan hanya mesti melahirkan keadilan formal (legal formal), tapi juga mampu menghadirkan keadilan masyarakat (legal substantif). Pendekatan progresif sang Jaksa Agung akan membuatnya melakukan terobosan atau pengaturan baru mengenai mekanisme perampasan aset hasil tindak pidana, termasuk hasil kejahatan korupsi, dengan sistem perampasan yang memungkinkan pengembalian aset hasil tindak pidana. Seraya menyampaikan gugatan terhadap aset yang berasal dari tindak pidana atau instrumen kejahatan yang menekankan perampasan aset hasil tindak pidana atau dikenal dengan Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture atau civil forfeiture. Adanya pelaku kejahatan yang dinyatakan secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan berdasarkan suatu putusan pengadilan bukan merupakan prasyarat yang harus dipenuhi. Dengan mekanisme ini pula, terbuka kesempatan yang luas untuk merampas segala aset yang diduga merupakan hasil pidana (proceed of crimes) dan aset-aset lain yang patut diduga akan digunakan atau telah digunakan sebagai sarana (instrumentalities) untuk melakukan tindak pidana. Mekanisme baru ini juga dapat digunakan sebagai alternatif untuk memperoleh kompensasi atau uang pengganti atas adanya kerugian negara. Sekalipun aset baru diketemukan di kemudian hari, dan tidak tercantum dalam daftar aset yang dapat disita atau dirampas berdasarkan putusan pidana yang sudah inkracht, ia tetap dapat disita dan dirampas melalui mekanisme perampasan aset tanpa tuntutan pidana ini. Asset Forfeiture atau civil forfeiture ini sangat urgen untuk diterapkan agar dapat menjadi solusi pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Hadirnya sosok Jaksa Agung yang andal, berwibawa, dan profesional pada kabinet mendatang akan berimplikasi pada rasa keadilan bagi masyarakat pencari keadilan. Hukum diperuntukkan buat membahagiakan manusia, mengabdi bagi kepentingan manusia, wabil khusus untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Masyarakat Indonesia telah lama rindu akan sosok Jaksa Agung yang cerdas dan tegas, juga jujur dan berani, seperti R. Soeprapto atau Baharuddin Lopa. Jaksa Agung mendatang harus dapat mempersiapkan infrastruktur yang kuat, untuk mempersiapkan jaksa yang dapat merespons perkembangan hukum yang semakin pesat seiring dengan perkembangan ekonomi, teknologi, dan informasi global. Lebih dari itu, seorang Jaksa Agung harus pula memiliki pengetahuan, pengalaman, dan jam terbang yang tinggi dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dan perampasan aset. Sumber : http://www.tempo.co/read/kolom/2014/09/17/1647/Jaksa-Agung-yang-Mensejahterakan

MENANTI PENENTUAN FATF

MENANTI PENENTUAN FATF Oleh : Natsir Kongah* Tanggal 20 Oktober 2014 ini nasib Indonesia akan ditentukan oleh Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) yang akan bersidang di Paris – Perancis. Apakah Indonesia masih masuk dalam kategori Public Statement, atau Asterisk (peringatan untuk penerapan counter measures) atau Counter Measures (CM). Putusan yang akan dikeluarkan oleh FATF ini menjadi penting. Penting karena bila sanksi CM itu dikenakan, akan berdampak luas dan signifikan terhadap tata pergaulan internasional maupun terhadap perkembangan ekonomi bangsa. Secara ekonomi sanksi CM ini akan berakibat buruk terhadap sistem keuangan sebuah negara, dengan meningkatnya biaya transaksi keuangan dalam melakukan perdagangan internasional khususnya terhadap negara maju atau penolakan oleh negara lain atas Letter of Credit (L/C) yang diterbitkan oleh perbankan. Akibat lain yang cukup serius dapat berupa pemutusan hubungan korespondesi antara bank luar negeri dengan bank domestik, pencabutan ijin usaha kantor cabang atau kantor perwakilan bank nasional di luar negeri, dan kemungkinan penghentian bantuan luar negeri kepada pemerintah. Sanksi tersebut di atas pada akhirnya akan dirasakan langsung oleh masyarakat luas. Bisa jadi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang selama empat tahun belakangan ini menurut Global Economic Prospects (Juni 2013) paling stabil di dunia, di aras yang lumayan tinggi 6%, akan merosot kebawah bila sanksi CM diterapkan. Kemerosotan dapat terjadi mengingat FATF beranggotakan negara dan organisasi yang berpengaruh besar terhadap perekonomian global, juga apa yang dilakukan oleh Anggota FATF akan menjadi rujukan bagi negara-negara lain di dunia. FATF dapat merekomendasikan beberapa tindakan yang termasuk dalam CM antara lain, pertama menerapkan syarat-syarat ketat dalam mengidentifikasi nasabah dan negara yang dikategorikan beresiko tinggi dan meningkatkan supervisi kepada lembaga keuangan untuk melakukan identifikasi mengenai siapa sebenarnya beneficial owners (penerima manfaat akhir) dari transaksi, sebelum hubungan bisnis dilaksanakan dengan orang atau perusahaan dari negara-negara yang dikenakan CM. Kedua, meningkatkan sistem pelaporan yang terkait dengan transaksi keuangan berdasarkan asumsi bahwa transaksi keuangan dengan negara yang terkena counter measures adalah transaksi yang sangat mungkin dikategorikan mencurigakan dan beresiko tinggi. Ketiga, bank dan lembaga keuangan non bank calon counterpart luar negeri akan berhati-hati dalam menjajaki peluang bisnis dengan industri keuangan Indonesia. Akan banyak pertanyaan, proses due diligence (uji tuntas) yang berkepanjangan, dan asumsi asumsi yang memberatkan sebelum counterpart tersebut memutuskan untuk memiliki bisnis dengan –penyedia jasa keuangan di Indonesia. Sejatinya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai focal point dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme telah optimal menjalankan peran dan fungsinya. Hal ini dapat dilihat dari stimulasi laporan Hasil Analisis yang disampaikan oleh PPATK kepada KPK, Kepolisian, Kejaksaan dan penyidik lainnya yang telah banyak mengantarkan pelaku tindak pidana korupsi, pencucian uang dan terorisme ke hotel prodeo dengan pengembalian harta kekayaan negara yang dikemplang ke kas negara dengan nilai triliun rupiah. Data statistik yang dikeluarkan oleh PPATK menunjukkan jumlah kumulatif Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) tahun 2011 sampai dengan September 2014 mengalami penambahan sebanyak 119.285 LTKM atau secara rata-rata tahunan meningkat 298,1 persen dibandingkan periode sebelumnya. Sedangkan Hasil Analisis (HA) yang disampaikan kepada penyidik dari Januari 2003 sampai dengan September 2014 sebanyak 2.758 HA yang terkait dengan 7.504 LTKM. Dari 40 rekomendasi dan 9 rekomendasi khusus yang dikeluarkan oleh FATF, sebahagian besar telah dijalankan secara baik oleh Indonesia. Yang menjadi persoalan utama bagi FATF adalah belum dijalankannya Rekomendasi Khusus Nomor III, terkait dengan pemblokiran dan penyitaan harta kekayaan teroris. FATF berkeinginan agar semua nama-nama yang diberikannya dalam United Nations Consolidated List 1267 dibekukan secara serta merta (freezing without delay). Sementara Indonesia sulit menerapkannya karena untuk menyita dan merampas asset orang per orang atau entitas terduga teroris haruslah melalui proses pengadilan. Sebagai negara hukum, proses ini merupakan bentuk penghormatan Indonesia terhadap hak asasi manusia dan due process of law dalam pemberantasan terorisme. Capaian kemajuan lainnya telah pula disampaikan , terakhir dalam pertemuan plenary meeting ke -25 FATF di Paris – Perancis pada Februari 2014. Indonesia karena bukan anggato FATF diwakili oleh Sekretariat Asia Pacific Group on Money Laundering (APG) memaparkan bahwa Indonesia telah menunjukkan perkembangan signifikan dengan adanya penetapan pengadilan terhadap salah satu orang yang berada dalam daftar terduga teroris berdasarkan resolusi DK PBB 1267 a.n. Umar Patek, serta penetapan pengadilan sebagai implementasi Resolusi DK PBB 1373 terhadap salah satu terduga teroris Indonesia. Indonesia juga terus berupaya untuk terus melakukan pembekuan aset dan telah membentuk task force yang terdiri dari kementerian/lembaga terkait (BNPT, Densus 88 Polri, PPATK, Kemenlu, Kemenkopolhukam, BIN, dan PN Jakarta Pusat) yang dikoordinatori oleh BNPT untuk terus menindaklanjuti pembekuan aset sesuai kedua Resolusi Dewan Keamanan PBB. Komitmen kuat Indonesia lainnya ditunjukkan dengan telah diundangkan UU No. 9/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Selain itu, Indonesia telah pula berhasil melakukan penuntutan terhadap 900 pelaku tindak pidana terorisme, diantaranya termasuk pula tindak pidana pendanaan terorisme. Kemudian muncul pertanyaan, kenapa Indonesia yang sudah begitu kuat menjalankan rekomendasi FATF masih terancam dengan sanksi counter measures ? Agaknya perlu komitment yang kuat dari Presiden RI untuk melakukan konsilidasi dan melakukan lobi kepada negara – negara maju anggota FATF. Otto Von Bismark (Pahlawan Jerman) pernah menyebutkan “the politic is an art of negotiations”. •Natsir Kongah, pembelajar masalah-masalah tindak pidana pencucian uang.