Selasa, 06 Maret 2012

MEMBONGKAR MAFIA DENGAN UU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

MEMBONGKAR MAFIA DENGAN UU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Oleh : Natsir Kongah*

Dimuat oleh Harian Kompas, 7 Maret 2012 hal.7

Saya sedikit mengernyitkan dahi ketika membaca Kompas Minggu 4 Maret 2012. Judulnya tertulis : Laporan PPATK Harus Berindikasi Tindak Pidana. Dalam artikel yang mengutip komentar, konon katanya dari pakar dibidang tindak pidana pencucian uang -- yang menilai bahwa Laporan Hasil Analisis (LHA) yang disampaikan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkesan tidak kuat dan tidak terkait indikasi tindak pidana. “Kalau tidak ada indikasi pidana Untuk apa diserahkan kepada aparat penegak hukum”.

Persepsi yang disampaikan oleh “pakar” ini menurut hemat saya keliru. Bila kita lihat dari alur Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) yang disampaikan oleh Penyedia Jasa Keuangan (PJK) kepada PPATK saja sudah terang ada indikasi, dimana LTKM yang disampaikan itu mengandung unsur menyimpang dari profile, karakteristik atau kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan.

LTKM yang diterima oleh PPATK tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan, mencari dan meminta data dari berbagai sumber informasi yang ada dengan melakukan pendekatan berbagai methode analisis yang telah terasah dan teruji. Setelah dilakakukan proses analisis kemudian menghasilkan produk yang disebut dengan Hasil Analisis (HA). Tak heran bila dari 10.587.703 laporan yang disampaikan oleh PJK dan Direktorat Bea dan Cukai sampai dengan Januari 2012 kepada PPATK, “hanya” 1.890 Hasil Analisis yang disampaikan kepada penyidik. “Kecilnya” angka HA yang disampaikan ini karena PPATK bukan berperan sekedar sebagai kantor pos semata, akan tetapi melakukan proses panjang untuk dapat memastikan bahwa Hasil Analisis yang disampaikan telah memilki indikasi kuat tindak pidana pencucian uang.

Informasi intellijen keuangan yang disampaikan oleh PPATK ini relatif “barang matang”, tinggal sentuhan penyidik untuk mendapatkan barang bukti, lalu kemudian menyampaikannya kepada penuntut umum untuk selanjutnya dibawa ke meja hijau. Dalam praktiknya memang diperlukan keahlian, kemauan dan kecerdasan untuk dapat mengungkapkan hasil analisis yang dilakukan oleh PPATK menjadi sebuat produk hukum yang mengikat.

Selain itu, sejatinya didalam membangun rezim anti pencucian uang yang efektif di Indonesia, tidaklah semata tergantung kepada salah satu institusi semata, melainkan kerjasama dan kemauan yang kuat di antara lembaga terkait dengan didasarkan kepada kepentingan bangsa dan negara. Seperti dalam sebuah ekosistem, bila salah satu pihak mengalami kebocoran maka efektifitas dari jalannya roda tersebut tidak sesuai dengan harapan. Bak kata pepatah “bersatu kita kokoh, bercerai kita runtuh”. Untuk melawan para mafia kejahatan yang begitu bersatu dengan kerjasama kuat, harus dilawan pula oleh persatuan, profesionalisme dan integritas penegak hukum yang tinggi.

Financial Intelligence Unit

Philosofi keberadanaan financial intelligence unit (FIU) nama generik internasional dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), merupakan sebagai media atau sarana bagi suatu lembaga untuk menjalankan teknik atau methode yang dinilai paling efesien dan efektif dalam memerangi berbagai bentuk kejahatan pada saat sekarang dan dimasa yang akan datang.

Tidak ada aturan baku yang mengatur bentuk dan peranan yang harus dijalankan oleh suatu FIU. Rekomendasi yang diterbitkan oleh Carrabbean Drug Money Laundering Conference misalnya hanya mengisyaratkan tentang suatu badan khusus yang bertanggung jawab melakukan tindakan penyidikan, penuntutan dan penyitaan. Sedangkan Rekomendasi Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering hanya menyebutkan perlunya competent authorities yang bertugas menerima dari penyedia jasa keuangan. Sedangkan European Money Laundering Directive menyebut badan yang berwenang memerangi pencucian uang dan mewajibkan anggota Uni Eropa untuk menjamin bahwa badan tersebut memiliki kewenangan meminta laporan dari penyedia jasa keuangan dan mewajibkan anggota Uni Eropa Untuk menjamin bahwa badan tersebut memiliki kewenangan meminta laporan dari penyedia jasa keuangan. United Nations Convention Against Corruption (2003) memerintahkan agar setiap negara anggota mendirikan FIU yang secara nasional berfungsi sebagai center for collection, analysis and dissemination informasi tentang dugaan pencucian uang.

Keberadaan FIU bagi suatu negara dianggap cukup penting untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Meminjam Guy Stessen, dalam bukunya Money Laundering A New International Law Enforcement Model, menyebutkan secara umum ada tiga alasan mengapa kejahatan pencucian uang perlu diperangi dan dinyatakan sebagai tindak pidana. Pertama, pencucian uang dapat mempengaruhi sistem keuangan dan ekonomi yang diyakini berdampak negatif bagi perekonomian dunia, misalnya dampak negatif terhadap efektifitas penggunaan sumber daya dan dana. Dengan adanya money laundering sumber daya dan dana banyak digunakan untuk kegiatan yang tidak sah dan dapat merugikan masyarakat. Kedua, pengkriminalisasian pencucian uang sebagai tindak pidana akan lebih memudahkan bagi aparat penegak hukum untuk menyita hasil tindak pidana. Ketiga, pengkriminilisasian pencucian uang sebagai tindak pidana dan dengan adanya ketentuan serta sistem pelaporan transaksi dalam jumlah tertentu, serta transaksi yang mencurigakan maka akan semakin memudahkan penegak hukum Untuk menyelidiki kasus-kasus tindak pidana sampai kepada tokoh-tokoh yang ada dibelakangnya.

Belajar dari Kasus Gayus Tambunan

Mari kita belajar dari kasus terpidana Gayus Halomoan Tambunan Jilid I, ketika itu Lapoaran Hasil Analisis yang disampaikan oleh PPATK “kurang” optimal digali oleh penyidik sehingga proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan berjalan secara smooth dan akhirnya GT ketika itu diputus bebas oleh Majelis Hakim. Keputusan itu memicu kecurigaan ditengah masyarakat, yang pada akhirnya Mabes POLRI membentuk tim khusus untuk membongkar kembali kasus yang sama sehingga terbukti dari mulai pelaku, oknum penyidik, oknum penuntut umum dan oknum hakim terbukti “bermain” dalam persoalan ini. Total hukuman Gayus Tambunan mencapai 28 tahun penjara, setelah mendapatkan vonis selama enam tahun penjara karena melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang.

· Penulis pembelajar masalah-masalah tindak pidana pencucian uang.

1 komentar:

UII_Official mengatakan...

informasi yang menarik..:) smoga hukum di indonesia semakin adil..! salam kenal..: )