BAU AMIS PEMILIHAN
KOMISIONER OJK
Oleh : Natsir Kongah*
Saya memaklumi kekecewaan
besar yang dirasakan oleh industri perbankan terhadap keterpilihannya dewan
komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang ada. Selain tidak adanya
perwakilan industri perbankan sebagai pemilik komposisi terbesar dari Rp. 7.700
triliuan asset bank dan non bank yang ada, pula proses pemilihan di tingkat
politik itu merebak bau amis. Tak heran kalau Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank
Umum Nasional, Sigit Pramono menyayangkan dan akan mempertimbangkan untuk
menempuh jalur hukum tertentu (Kompas, 21 Juni 2012).
Selasa, 19 Juni 2012 malam Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melalui Komisi XI DPR RI menentukan hasil uji kepatutan dan kelayakan 14 nama calon Dewan Komisioner OJK. Tujuh dari 14 nama yang ada ditetapkan sebagai Komisioner OJK secara defenitif dengan ketua Muliaman Hadad, anggota Nurhaida (54 suara), Firdaus Djaelani (53 suara), Kusumaningtuti S Soetiono (53 suara), Ilya Avianti (50 suara), Nelson Tampubolon (44 suara), dan Rahmat Waluyanto (40 suara). Keputusan yang ada ini selain menimbulkan pro dan kontra juga melahirkan berbagai isu-isu tak sedap.
Dikalangan perbankan, pasar modal dan asuransi bisik-bisik yang beredar menyebutkan bahwa sebahagian dari komisoner yang terpilih, dipilih secara tidak wajar dan fair. Isu yang ada dibumbui pula oleh banyaknya uang dolar yang beredar untuk menggoalkan seseorang untuk dapat terpilih menjadi Dewan Komisioner OJK. Pertanyaan lain yang kerap muncul, bagaimana anggota dewan dapat memilih secara baik dan benar – bila proses uji kepatutan dan kelayakan yang hadir “hanya” 5 – 20 anggota dewan, sementara ketika voting dilakukan seseorang bisa mendapatkan 54 suara atau 44 suara dari 56 jumlah anggota dewan yang memilih?
Belajar
dari Skandal Suap Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia
Belum lepas ingatan
kita dan belum pula usai proses penegakan hukum kasus suap pemilihan Deputi
Senior Gubernur Bank Indonesia. Skandal ini bermula di bulan Mei 2004, Komisi IX DPR RI menerima tugas dari Pimpinan DPR RI untuk
melaksanakan fit and proper test dalam rangka pemilihan Deputi
Gubernur Senior Bank Indonesia sebagaimana diusulkan oleh Presiden Megawati
Soekarnoputri. Ada tiga calon yang diajukan ketika itu : Miranda Goeltom,
Hartadi A.Sarwono, dan Budi Rochadi.
Dari jalannya persidangan tindak pidana korupsi terkait kasus ini, tergambar bahwa untuk memuluskan jalan Miranda Swaray Goeltom menjadi Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, ada “sponsor” yang turun gunung menyediakan 480 cek pelawat dengan masing-masing senilai Rp. 500.000.000,- dengan total Rp. 24 milyar. Miranda memperoleh suara sebanyak 41 dari 54 orang anggota Komisi IX DPR RI.
Entah bagaimana cek itu sampai ke tangan Nunun
Nurbaetie, yang telah divonis bersalah membantu menyerahkan cek pelawat. Dalam
sidang, sejumlah saksi dan terdakwa menerangkan bahwa cek mengalir melalui Arie
Malangjudo, Direktur Utama PT Wahana Esa
Sejati. Arie mendapat perintah dari Nunun Nurbaetie, Komisaris PT Wahana sehari
sebelum uji kepatutan dan kelayakan dilakukan.
Kemudian Nunun meminta politikus Partai Golkar, Hamka Yandhu, untuk mengatur pembagian 480 lembar cek suap tersebut. Hamka menyatakan pembagian sudah diatur dengan cara memberikan kode warna merah, kuning, hijau, dan putih pada kantong kertas tempat cek pelawat. Dalam persidangan terungkap pula, bahwa cek pelawat yang dikeluarkan oleh BII itu diadakan oleh Bank Artha Graha berdasarkan permintaan dari PT First Mujur Plantation. Bekas Direktur Keuangan First Mujur, Budi Santoso alias Awen, mengatakan cek dibeli atas permintaan Suhardi Suparman alias Ferry Yen untuk membayar lahan sawit seluas 5.000 hektare di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara yang dibeli oleh Teddy Uban. Ferry tak bisa bersaksi karena wafat pada 7 Januari 2007. Hakim Sudjatmiko, yang mengadili Nunun, menilai Ferry adalah tokoh fiktif yang diciptakan untuk menutupi alur kasus ini.
Pembatasan
Transaksi Tunai
Sudah saatnya Pemerintah Indonesia mengatur untuk
melakukan pembatasan transaksi tunai ditengah masyarakat. Hal ini dilakukan
guna menghindari atau pun menurunkan angka kejahatan penyuapan, korupsi dan
tindak pidana pencucian uang yang kian waktu kian hari terus membengkak.
Menurut data statistik yang dikeluarkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) trend korupsi dan penyuapan mengalami kenaikan
secara signifikan. Sampai dengan bulan Mei 2012 hasil analisis yang disampaikan
oleh PPATK kepada penyidik sebanyak 877 kasus korupsi dan 75 kasus penyuapan
yang modusnya antara lain menggunakan uang tunai dalam bentuk rupiah, uang
tunai dalam bentuk mata uang asing dan cek perjalanan.
Contoh penggunaan uang tunai untuk penyuapan
dapat dilihat dari kasus yang paling gress dengan tertangkap tangannya oknum
petugas pajak Tomy Hendratno, Kasi pelayanan dan konsultasi di Kantor
Pealayanan Pajak (KPP) Sidoarjo. Tomy tertangkap setelah kedapatan menerima
uang senilai Rp 285 juta yang diduga dari James Gunarjo, seorang pengusaha.
Sebelumnya, Dharnawati, Kuasa Direksi PT Alam Jaya Papua yang diciduk petugas Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) setelah mengantarkan duit Rp 1,5 miliar yang dibungkus kardus
durian. KPK juga menangkap tangan I Nyoman Suisnaya. dan Dadong Irbarelawan beserta
kardus durian di kantor Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Duit itu
adalah bentuk ucapan terima kasih PT Alam Jaya karena terpilih sebagai
kontraktor Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID), di empat kabupaten Papua, yakni Keerom, Teluk
Wondama, Manokwari, dan Mimika, senilai Rp 73 miliar.
Pemerintah perlu pula mengatur peredaran mata
uang asing di Indonesia, khususnya mata uang yang nilainya kuat seperti dolar
Amerika dan dolar Singapura. Mata uang ini kerap kali dipakai sebagai transaksi
korupsi dan penyuapan baik dilingkungan eksekutif, legislatif maupun judikatif.
Ketika saya satu mobil dengan rekan anggota dewan
yang terhormat, ia kelihatan begitu sulit mendapatkan uang rupiah dari
kantongnya untuk membayar parkir. Saat membuka dompet yang agak panjang dari
saku celana belakangnya semua berisi dolar Amerika dan Singapura. Ketika
merogoh dari saku depan kiri dan kanan yang keluar uang dalam bentuk dolar juga. Terpaksa saya
mengeluarkan uang rupiah pecahan Rp. 20.000, padahal stok uang tinggal itu
untuk membeli tiket kereta api dari Stasiun Palmerah ke Stasiun Sudimara,
Tengerang Selatan.
Penutup
Beredarnya isu
banyaknya uang dolar yang beredar di lingkungan DPR terkait pemilihan Dewan Komisioner OJK perlu
segera ditindaklanjuti agar tidak liar dan merebak kemana-mana. Sebab bila
tidak, saling curiga mencurigai akan
terus menyerap energi yang ada, dan
kita akan terus tersandera pada hal-hal yang bukan substantive. Lebih
dari itu, bila rumours ini terus berkembang akan menggerus tingkat kepercayaan
masyarakat dan industri kepada OJK. Padahal, kepercayaan adalah modal utama
Otoritas Jasa Keuangan.
*Pembelajar
masalah-masalah tindak pidana pencucian uang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar